Thursday, September 28, 2006

Silaturahmi Saudara Tua

Konon, di dalam segala kitab perwahyuan, diceritakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal tanah liat. Lalu Tuhan membuatnya lebih istimewa dibandingkan ciptaanNya yang lain. Lebih lanjut lagi semua alam raya diperintahkan oleh Tuhan untuk menghormat kepada manusia. Waktu itu hanya Iblis yang berani berkata tidak, sebab dia merasa lebih tua dan lebih mulia. Dia tanpa sengaja telah mengutip sebagian isi kitab Sifat-sifat Tuhan. Pasal Kesombongan. Digunakanlah ayat-ayat dari pasal itu sebagai bahan argumentasi dengan Tuhan. Iblis pun terusir dari taman surga.
Tak perlu dijelaskan lagi, jika Iblis begitu dendamnya. Hingga dia akhirnya bisa memaksa Tuhan untuk mengusir pula manusia dari taman surga. Dan berkeriapan lah manusia dan keturunannya di atas tanah ini.

Sesuai dengan janji-janji yang dipatrikan Tuhan, maka manusia pun berkuasa atas segala isi bumi. Dari hewan, tumbuhan, bahkan sampai perut bumi. Entah gara-gara racun-racun yang ditebarkan iblis tingkat kontaminasi dan umur radiasinya sangat lama, yang pasti lebih hebat dari nuklir sekalipun, maka manusia kini sangat getol berkata-kata satu dengan yang lainnya dengan ayat-ayat Pasal Kesombongan.

Alih-alih mencari kepuasan diri, segala cara pun ditempuhnya. Disikutnya sesama manusia, digerusnya tanah dan samudera, dimamahnya segala tetumbuhan, bahkan hewan-hewan, yang memang diperuntukkan sebagai makanan dan permainan, akhirnya nasibnya benar-benar menjadi mainan manusia semata.

Tingkah laku manusia yang kadang menjadi tuhan bagi alam semesta sekaligus menjadi iblis bagi kehidupan yang harmoni, telah membuat Tanah liat gelisah. Diam-diam dia bergerak menemui Air, Tanah dan Bebatuan. Mereka semua adalah elemen dasar dari kelangsungan kehidupan. Hal yang sepertinya tidak pernah terlintas di dalam benak anak cucu Adam untuk dihormati. Sebab, bukankah seharusnya manusia yang dihormati?

Terlupakan. Terpinggirkan. Bahkan terbengkalai. Manusia telah banyak membuang segala kenangan atas proses penciptaannya sendiri. Tanah liat adalah saudara tua bagi dirinya. Dalam pertemuan itu, Tanah liat mengadukan tingkah laku manusia kepada teman-temannya.

"Apa yang harus kita lakukan untuk menyadarkan mereka semua? Tak kurang Tuhan berkali-kali mengingatkan, tetapi masih banyak dari mereka yang lalim". Demikian keluh Tanah liat kepada teman-temannya.
"Mungkin kita sendiri lah yang harus bertindak! Tuhan maha suci untuk hal-hal kotor seperti ini", teriak bumi sambil berkali-kali menggoyangkan punggungnya.
"Aku pikir juga begitu. Lebih baik kita maju bersama-sama untuk mengingatkan mereka!", Air pun menjadi bersemangat. Kadang kala, ia menyurutkan badan sehingga manusia berteriak-teriak.
"Tunggu. Tunggu. Kalian jangan terlalu bersemangat. Apa jadinya mereka jika kalian terlalu bersemangat. Yang ada kita akan membunuh mereka. Padahal di hadapan Tuhan kita sudah berjanji untuk menghormatinya. Kita harus pikirkan cara yang lain!", Bebatuan miris melihat kelakuan kedua temannya.
"Betul juga kata Bebatuan. Kita tidak boleh menghukum mereka. Itu wilayah kekuasaan Tuhan", Tanah liat setuju dengan pemikiran Bebatuan.

Mereka pun terdiam. Sesungguhnya kekuatan manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Akan tetapi Tuhan telah sangat bijaksana agar mereka ikhlas merelakan kekuasaan manusia atas mereka semua. Sebab hanya manusia lah yang diberikan keleluasaan untuk mencintai dan menyayangi. Malaikat seperti petugas yang mencintai Tuhan semata. Segala tindakannya demi melayani Dia. Iblis terlalu sombong, dia pasti akan lebih mudah memporakporandakan alam semesta bukan merawatnya.

"Aku ada usul. Menurutku ini adalah hal yang paling sederhana", Tanah liat memecah keheningan.
"Apa itu? Tidak berbahayakah usulanmu untuk mereka?", sahut Tanah.
"Ya. Ya. Silahkan bicara. Aku ingin mendengarnya", Air dan Bebatuan pun penasaran.
"Tapi aku butuh bantuan kalian semua untuk melakukannya", Tanah liat masih belum mengemukakan usulnya.
"Kami semua pasti membantumu. Asal apa yang akan kau lakukan tidak lah membunuh mereka", Air mewakili kedua temannya mengiyakan untuk membantu Tanah liat.
"Begini. Kudengar di Porong ada pengeboran sumur minyak. Aku minta Bebatuan dan Tanah bergerak sedikit saja. Ciptakanlah ruang untuk aku bisa masuk di sumur itu. Dan kau Air, doronglah aku dengan tenagamu. Aku hanya ingin menyapa mereka. Sebab aku lah saudara tua mereka. Masih ingatkah mereka denganku? Itu yang akan aku katakan pada mereka semua. Hanya mengingatkan", Tanah liat menunduk seakan kesedihan yang ditanggungnya begitu berat.
"Kami semua akan membantumu. Tetapi kira-kira apa yang nanti akan terjadi?", Bebatuan menyela.
"Aku juga tidak tahu pasti. Yang pasti aku hanya ingin manusia itu tahu bahwa selama ini sedikit sekali dari mereka yang mengingat kita semua. Mengasihi kita. Apalagi mencintai. Setelah mereka tercipta, kita semua hanya lah alat hidup bagi mereka. Jarang sekali yang berucap syukur kepada Tuhan atas satu pokok pohon yang tumbuh, satu benih padi yang tunas, bahkan satu ekor ayam yang bertelur".

"Kamu yakin ini akan berhasil?", Air bertanya.
Tanah Liat menghela nafas panjang. Terdengar seperti gemuruh di dalam perut bumi.
"Entah lah. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pedulikan lagi", ujarnya.
"Koq begitu?", Tanah bertanya.
"Aku cuma bersilaturahmi. Menyapa. Mengingatkan. Apapun hasilnya, biar lah manusia sendiri yang menjawabnya".

Keempatnya kembali terdiam. Berkecamuk segala pikiran. Ya, kadang memang usaha yang paling maksimal hanyalah mengingatkan. Sebab untuk menegur ataupun menghukum manusia atas tindakannya kepada alam adalah wilayah Raja Manusia. Akhirnya mereka sepakat. Mengingatkan adalah jalan yang terbaik.

Kemudian terdengar suara gemuruh. Getarannya sampai di tempat mereka berkumpul. Kali ini berasal dari mesin bor bermata intan milik sebuah perusahaan pertambangan.

Hari itu, di Porong - Sidoarjo, 29 Mei 2006 terjadilah keributan. Tanah Liat telah bercampur dengan Air. Mereka menahan emosi. Tubuh – tubuh mereka panas. Terjadi lah semburan lumpur yang panas.

Menyembur. Menyembur. Menyapa dan mengingatkan manusia sembari mengadu pada Tuhan. Bercengkerama dengan rerumputan, pepohonan, juga dengan udara. Tanah Liat menyapa sang adik, manusia. Seperti seorang pemuda yang jatuh cinta, yang terus menerus mengirimkan surat cinta kepada gadis pujaan. Tanah Liat berkunjung pada saudara mudanya. Dengan tubuhnya sendiri yang bercampur air. Setiap hari. Sampai kini. Entah sampai kapan.

Sampai manusia mengasihi dan mencintai elemen-elemen itu? Hanya Tuhan yang tahu kunci hati tiap-tiap jiwa yang telah bisa membaca jawabannya.

Nun, Iblis pun menolak bicara atas peristiwa langka ini.

Wednesday, September 13, 2006

Setetes Darah yang Tumpah Menjelang Siang

“Tuhan, dimana Engkau semalam?” *)
Ada keluh yang terdengar di sela-sela adzan subuh. Keluh yang tertelan gemuruh suara para pedagang sayuran yang berebut belanja di pasar tradisional. Seorang lelaki tampak berjalan lemah. Hampir-hampir kakinya tak bisa melangkah. Terseok-seok di los-los pasar yang gelap dan pengap.

”Tolong, tolong aku!”, jeritnya.
Ada yang diharap muncul di balik kegelapan.
”Aku tak ingin berbuat lagi! Cukup sekali saja”, teriaknya lagi. Para pedagang sayur yang sedang belanja terhenti. Teriakan lelaki itu membuat mereka terganggu. Dipikirnya ada lagi perkelahian antara dua kelompok preman. Mereka tercekam dan bersiap-siap.
”Orang gila!”
”Orang mabuk!”

Demikian lah yang dipikirkan oleh mereka terhadapnya. Sebab tak satupun dari mereka mengerti apa yang sedang terjadi padanya.

***

Dia seorang lelaki muda. Ada gelora gelisah senantiasa di jiwanya. Dilalangnya penjuru kota demi menyusun kotak imajinya saja. Sebelum akhirnya dicobanya untuk masuk pada sebuah lorong kelam.
”Sudah pernah ke sini, nak?”, tanya supir bajaj yang mengantarnya.
”Belum pernah pak”, jawabnya kikuk.
”Hati-hati saja. Sebaiknya pikirkan lagi”.
”Kenapa?”, ragu dia bertanya. Sebab pasti hasilnya adalah ceramah agama.
”Birahimu bisa menjadi pintu sebuah misteri yang tak bisa kau mengerti”.
”Oh”, hanya kata tak berarti yang akhirnya digumam.
Birahi? Apakah aku sedang birahi? Lalu misteri apa yang akan terjadi? Aku hanya ingin tahu saja. Masih ragu dia melangkah.
Ingin ditanya tentang bagaimana caranya pada supir bajaj itu. Ah, pasti sia-sia!
Dia berpikir sebaiknya langsung mencoba saja. Sebelum malam tutup usia.

***

Adalah gairah yang menyala-nyala. Telah mendorongnya masuk ke sebuah pintu yang di atasnya berpendar lampu dengan warna merah menyala. Tepat sudah! Jerit batinnya. Ada nada keriangan yang meletup. Tapi dia masih belum tahu harus bagaimana.

”Sini dong mas, jangan diam di situ”, celoteh manja terdengar dari seorang wanita.
”Eh, iya”, jawabnya ragu. Sangat lugu.
”Mau minum apa? Aku pesankan ya?”, pinta seorang lagi. Juga seorang wanita.
Inikah surga dunia? Lelaki menjadi raja. Dan segala hasratnya akan dipenuhi. Wanita-wanita di situ siap menjadi abdinya.

”Punya rokok kan, mas?”, ada yang bertanya sambil melingkarkan lengan di pinggangnya. Seorang wanita dengan raut wajah yang kelihatan pucat. Sepertinya sedang tidak enak badan. Cantik tetapi malam itu kelihatan sangat kuyu. Ada bau wangi berlebihan ketika dia mendekatkan badan.
”Eh, ada. Ini”, katanya sambil mengulurkan sebuah kotak rokok yang isinya tinggal setengah.

Sekejap saja. Tiga orang wanita dan seorang lelaki, sama-sama muda usia, menggelar sebuah pesta kecil. Ada botol minuman, gelas-gelas yang selalu haus, mulut-mulut yang bercerita, dan asap rokok serupa asap kemenyan di pekuburan raja-raja.

Dan dunia di matanya berubah. Malam itu serasa siang dengan jutaan bintang. Hangat, lembab, dan bergetar. Entah jantung siapa yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Yang jelas mereka berempat kemudian mulai menggerakkan badan mengikuti iramanya.

”Sudah larut malam mas. Tentukanlah siapa yang akan kamu dekap dalam gelap”, ada sebuah kata perintah yang terselip dalam nada manja. Suci kah? Murni kah? Atau Dewi yang telah bicara.

***

”Kenapa kamu memilihku?”, mulut mungil pada wajah cantik yang kuyu itu bicara. Pemiliknya bernama Suci.
”Karena kamu paling cantik di antara mereka”, jawabnya.
”Dasar lelaki, memang sangat pemilih!”, ketus.
”Kamu tidak suka?”
”Aku sedang tidak enak badan!”
”Aku tidak ingin batal. Ini kali yang pertama untukku”.
”Serius?”
”Jangan tertawa. Tapi ini benar”.
”Kenapa kamu ingin melakukannya?”
”Ada baiknya kusimpan jawabannya sendiri. Dan sebaiknya kamu tunjukkan padaku bagaimana caranya. Sebab ini sudah hampir pagi”.
”Aku sedang tidak bisa tertawa”, lagi-lagi ketus.
Dan Suci pun mulai membuka tubuhnya.
”Jangan diam saja. Buka juga pakaianmu”.
Lelaki muda itu terdiam. Tubuhnya gemetar. Baru pertama kali ini dia melihat seorang wanita muda menelanjangi tubuhnya sendiri di depannya.

Di otaknya segera diingat bab anatomi tubuh manusia dari kitab pelajaran biologi. Ilustrasi yang sangat nyata daripada yang tergambar di lembaran kertas tua. Kemudian diingatnya kebaikan Tuhan. Betapa sempurnanya dia ciptakan mahluk yang bernama wanita. Terutama pada buah dada dan buah panggulnya.

Ugh! Kenapa aku bisa mengingat Tuhan dalam keadaan seperti ini? Mungkinkah Adam dan Hawa juga mengingatNya ketika tangan mereka menyentuh kulit buah terlarang itu? Aku lah Adam yang terangsang! Warna buah itu begitu menaikkan seleraku. Dan harumnya begitu memabukkan. Terbayang betapa lezat dan manisnya buah yang sedang kupandang. Segigit saja. Segigit saja lah. Lalu akan kukenang selama-lamanya.

”Koq belum dibuka bajunya?”
Kata-kata Suci mengaburkan lamunannya.
”I...Iya. Akan aku buka semuanya”. Dia pun membuka baju. Melepas ikat pinggang. Celana.
”Celana dalamnya juga dong?”, Lagi-lagi Suci memberi aba-aba.
”Aku ... Aku ...”, dia terbata.
Tubuhnya gemetar. Angin dini hari memang dingin. Tetapi Suci dari tadi telah membuat suhu di kamar itu semakin panas.
"Tapi, apa yang berdebar di dadaku, apakah juga ada di dada itu? Di dada itu?” **) Dia kembali terbata ketika bicara.
”Ada baiknya kamu rasakan sendiri. Sentuhlah!”, Suci mendekat.
Mereka pun merapat.
Saling mendekap.
Erat.

***

”Jangan berterimakasih. Sebab kamu menikmati” ***), kata Suci saat tuntas sebuah petualangan.
”Ya. Aku sangat dan harus menikmatinya. Sebab ini kali yang pertama”, jawab lelaki muda itu tersengal.
Tubuhnya masih bergetar. Bahkan lebih kencang dari tadi.
Hampir saja terucap kata terimakasih dari bibirnya. Kemudian teringat lagi. Wanita yang terbaring di sebelahnya tidak membutuhkan kata-kata.

Tadi, sebelum permainan itu terjadi, aku lah adalah raja baginya. Setelah ini, aku hanya lah deretan angka di dalam pikirannya.
”Apa yang kamu pikirkan?”, Suci memancingnya. Sebab dari tadi dia tak berkata-kata. Memujinya pun tidak.
”Aku tiba-tiba teringat dosa”, jawabnya sambil duduk mencakung di tepi ranjang.
Tubuh cantik Suci pun ikut mengejang.
”Jangan bicara dosa di tempat ini!”, Suci menjerit kecil. Protes pada ucapannya.
Lalu dia melanjutkan lagi, ”Sebaiknya, mulai sekarang kau ceritakan pada dunia dunia para serigala. Pemangsa rembulan yang tak pernah sadar hidupnya telah dirampas malam”.
Suci berdiri. Pergi ke kamar mandi tinggalkan si lelaki sendiri.
”Jangan lupa uang pembayarannya!”, teriaknya dari balik pintu kamar mandi.

Lelaki muda masih terdiam. Sebuah pintu misteri telah dikuaknya sendiri dengan berani. Dari baliknya, muncul sejumlah kata.

”Kamu telah menang!”
”Kamu sudah dewasa!”
”Kamu telah melewati satu fase kehidupan!”
”Tuhan pasti malu melihatmu!”
”Sekarang kau tahu prakteknya setelah sekian lama hanya tahu dari buku-buku tua”

Kata-kata itu menyerangnya kembali sebagai kata tanya yang menusuk hati.
”Kamu menang dari apa?”
”Apakah arti kedewasaan?”
”Adakah hal lain yang telah aku lewatkan dalam hidupku?”
”Apakah kamu tidak merasa takut pada Tuhan?”
”Sekarang buat apa praktek itu kamu ketahui?”

Dia hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang bisa dia bantahkan, tak juga dijawabkan. Tubuhnya berkeluh. Basah. Dia betul-betul resah. Dirogohnya saku celana. Diraihnya dompetnya. Astaga! Kurang!

Kali ini dia benar-benar tak bisa bicara. Dihitungnya kembali uang yang ada di dompetnya. Benar ternyata hitungannya. Ongkos bajaj. Tiga bungkus rokok. Empat botol bir. Serta tips untuk Murni dan Dewi.Kali ini dia benar-benar tak bisa bicara. Dihitungnya kembali uang yang ada di dompetnya. Benar ternyata hitungannya. Ongkos bajaj. Tiga bungkus rokok. Empat botol bir. Serta tips untuk Murni dan Dewi.

Tangan dan kakinya gemetar. Dan semakin gemetar pada saat pintu kamar mandi terbuka. Ada harum yang semerbak. Suci kelihatan sudah tidak kuyu lagi. Suci tersenyum dan mengecup pipinya.
”Asal kamu tahu, aku juga tadi menikmatinya”.
Kemudian tangan Suci meraih tangannya, tepat pada lembaran-lembaran uang yang sedang digenggam.

***

Di depan rumah bordil, ada darah yang tertumpah. Lelaki muda itu dikeroyok oleh empat orang preman penjaga keamanan. Lalu dalam keadaan setengah pingsan, dia diseret hingga ke sebuah tempat sampah dekat pasar.

Hari sudah menjelang siang saat didengarnya sebuah suara. Dipikirnya suara itu berasal dari orang yang melihat dia terkapar.

”Hari ini telah kutebuskan dosamu pada orang-orang yang telah memperingatkanmu semalam. Tetapi kepada Tuhan, kamu sendiri yang harus bertanggungjawab”.

Dia pun mendekatkan diri pada asal suara itu. Ternyata suara itu berasal di dekat telinganya, di atas tanah yang masih basah. Setetes darah yang tumpah telah mengungkit sebuah risalah.

Jakarta, 13 September 2006.

(* = Sajak Hasan Aspahani “Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia” – adegan IV)
(** = Sajak Hasan Aspahani “Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia” – adegan II)
(*** = Sajak Hasan Aspahani “Setelah Sebuah Persetubuhan” –/4/)

Tuesday, September 12, 2006

Ziarah

Sejak aku meninggalkan masa kelamku, aku mulai bertandang ke sini. Piknik batin di Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga untuk melarutkan aku pada aroma keagungan Tuhan yang Maha Kuasa. Setidaknya aku menyambangi rumahNya, merasakan keteduhan hadiratNya. Rasanya sudah sekian lama aku tidak merasakan keteduhan dalam hatiku. Masa lalu itu begitu kelam, penuh dengan tangisan dan dendam. Mendekati gerbangnya, semua pikiranku telah kosong, aku merasa sangat beruntung. Karena dengan segala kekosongan itu aku bisa mendengarkan semua suara dengan jelas.

Terdengar sayup-sayup suara paduan suara membacakan sebuah Litania. Kyrie eleison – Tuhan kasihanilah kami” begitu awalan setiap Litania; mengayun perasaanku turun karena aku mengingat dosa masa kelamku. Benar ya Tuhan, kasihanilah aku! Rutukku dalam kesedihan yang mendalam. Aku memang orang yang perlu dikasihani, demikian bathinku bicara.

Perlahan langkahku terus bergerak, semakin dekat ke arah pintu depannya. Di depan patung Bunda Maria aku tersungkur. Bagaimana tidak? Pada anakNya lah Allah bicara langsung kepada manusia; melalui dia aku mengenal Tuhan. Seperti tulisan pada bagian atas pintu itu berbunyi “Beatam Me Dicent Omnes Generationes" ; aku pun berpikir bahwa aku mungkin tidak termasuk orang-orang yang berbahagia sampai saat ini. Itulah kenapa akhir-akhir ini aku mulai melakukan perjalanan untuk menyambangi tempat-tempat seperti gereja ini. Mungkin suatu saat aku juga datang kepada tempat-tempat suci lain di bumi ini.

Aku terus melangkah, memandang getir pada sebuah pualam bertanda, tulisan ditengahnya membuatku merasa sangat kecil. Domino Optimo Maximo - Demi Tuhan yang Maha Baik dan Maha Besar. Dulu aku sering merasa Dia tidak cukup baik hingga membiarkan aku tenggelam dalam dunia yang gelap dan Dia juga tidak cukup besar hingga tidak dapat mengangkatku pada rumah penuh tawa. Setiap hari yang aku hadapi adalah kebengisan atau kematian, yang aku dengar setiap hari hanyalah caci dan makian. Sebenarnya aku rindu pada suara paduan suara dan terlebih suara FirmanNya; tetapi baru sekarang ini aku bisa jalan-jalan.

Ya, kepedihan membawa aku lebih jauh lagi mengenali rumah Tuhan kali ini. Aku ingin membuang jauh-jauh segala penderitaan. Kata orang bijak “Tuhan memberikan bahuNya untuk menopang semua bebanmu”, maka dari itu sekarang aku mencoba datang untuk memberikan bebanku padaNya. Ketika aku masuk, aku sedikit bingung, pada altar mana aku harus berdoa? Aku hanya menurutkan lilin-lilin yang menyala saja lah. Mungkin di situ lebih banyak terangNya yang akan aku terima. Aku membutuhkan terang untuk menghilangkan gelap dari otakku selama ini. Aku kembali berlutut sebelum melangkah lebih jauh lagi. Di samping itu aku juga berharap datangnya seorang pastor atau sesiapa saja untuk menunjukkan bagaimana seharusnya aku mengadukan persoalanku kepada Tuhan. Tetapi saat ini hanya diam dan beku yang aku rasakan; sekelebat aku melihat seseorang, tetapi langkahnya terlalu cepat untuk aku kejar. Aku kembali termanggu sebelum mencoba untuk berdoa.

Aku menoleh dan melihat sebuah bejana dari marmer, “Oh Tuhan siapakah yang bisa membasuh dosaku saat ini?” Percikan air suci, ah! Kenapa aku jadi mengingat cerita-cerita pengusiran roh jahat dengan air suci? Kenapa lalu aku pun menggigil mengingatnya? Aku merasa sangat ketakutan. “Oh Tuhan tolonglah aku, usir takutku ini!”

Mataku terus berputar, menghindari pandanganku pada bejana baptis. Aku melihat hal-hal yang lebih aneh lagi. Semua gambar Para Pemimpin Vikariat Apostolik Batavia dan Keuskupan Agung Jakarta seakan-akan menatapku dengan kesedihan yang mendalam. Ya Tuhan apakah ini gerangan? Aku merasa semua keindahan yang ingin aku rasakan lenyap dengan tiba-tiba. Aku segera berlari keluar ruangan. Lari, lari, terus berlari, rasanya sekarang aku ingin pergi saja secepatnya dari tempat itu.

Aku berlari tak tentu arah, seakan-akan aku sedang dikejar oleh puluhan anjing gembala jerman! Nafasku tersengal-sengal. “Tempat berlindung! Tempat berlindung!” hanya itu yang ada di dalam kepalaku waktu itu. Lalu aku melihat Gua Maria! Mungkin aku bisa berlindung di belakang patung Bunda Maria. Tanpa berpikir panjang segera kuarahkan diriku menyelinap. Rasa dingin segera menyelimuti tubuhku, aku menggigil kembali. Gigiku gemeretuk menyebut namaNya.

Kuamati patung putih pualam dengan balutan jubah biru yang sedang tersenyum. Tersenyum? Benarkah itu senyuman? Aku melihat sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang begitu lekat. Tuhan, sungguh Sang Bunda tersenyum, hatiku merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di dadaku. Aku hampir saja terlena dengan kehangatan yang terus menjalar masuk ke dalam sumsum tulang-tulangku. Aku merasakan damai kasihNya? Yang jelas aku merasa bahagia, setidaknya aku merasa misiku untuk ziarah ke rumah Tuhan ini mempunyai makna.

Tidak! Tidak! Ini bukan hangat! Ini panas! Bahkan sangat panas! Aku merasakan bahwa tubuhku melekat dalam kedinginan pualam patung Bunda Maria, namun pada saat itu juga aku merasakan di dalam tubuhku ada panas yang luar biasa membakarku! Aku kepanasan sampai rasanya tubuhku meleleh – menempel mengotori patung itu. Aku berontak dan berteriak-teriak histeris. Rasanya sungguh sangat tidak adil! Bagaimana Dia menghukumku? Padahal aku ke sini untuk mencariNya.

Panas ini sungguh menyiksa, mataku sampai tidak bisa terbuka lagi. Kemudian dalam gelap aku melihat dosa-dosaku diputar kembali. Seperti bioskop saja, ah bukan! Seperti teater IMAX yang 3 Dimensi? Bukan juga! Lebih mirip dengan wahana baru di Ancol. Sinema 4 dimensi. Karena aku merasakan betapa dekatnya aku terlibat di dalamnya. Dosa-dosaku ditampakkan dengan gamblangnya. Adegan mencopet tas seorang ibu, memukuli pengamen kecil karena pulang tanpa hasil, menzinahi seorang gadis belia yang aku bius dengan kecubung, menghirup bubuk-bubuk putih bersama teman-teman yang tertawa terbahak-bahak, dan yang lebih menyakitkan adalah istriku yang marah-marah aku tempeleng hingga pingsan. Bahkan nyaris kubacok anakku sendiri karena ikut-ikutan mencoba melerai pertengkaran aku dan istriku.

Aku pusing kepala. Aku sudah lama hendak bertaubat dengan kehidupanku sebagai preman, tapi malah selalu saja aku kena masalah yang berhubungan dengan uang. Padahal aku sudah sakit-sakitan, tidak bisa lagi aku berobat, tidak bisa lagi aku berdagang, bahkan untuk mengemispun aku tidak bisa menengadahkan tangan. Aku tenggelam dalam labirin seuntai kata frustasi.

Tadi malam, dengan niat yang membara, aku memutuskan untuk pulang. Menghilangkan semua beban. Pikirku, lebih baik istri dan anakku tidak lagi menanggung seorang yang tua dan berpenyakitan. Biarlah mereka bisa hidup tenang tanpa aku dan masalahku. Aku hanyalah beban sekarang ini untuk mereka, bukan lagi tulang punggung keluarga. Menjelang pagi kusayat nadiku menggunakan parang.

Pagi tadi, aku ingat Tuhan. Aku sangat ingin menjenguk rumahNya. Karena itulah aku ke sini untuk berziarah. Melihat rumah Tuhan yang dulu biasanya aku pandangi dari Stasiun Gambir, waktu aku masih dihargai di situ. Hanya Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga lah yang aku tahu dari dulu sebagai tempat dimana Tuhan berada. Yang pasti, sudah terlalu lama aku merindu.

Kebayoran baru 20 Juni 2006

Cincin di Jari Tengah

Semenjak Roy, lelaki baik yang menikahiku, meninggalkan dunia kepedihan ini, aku kembali menjadi seorang wanita yang mandiri. Bukan mensyukuri ataupun meratapi, tapi aku merasa seperti tidak terjadi apa-apa saja setelah semuanya berlalu. Awalnya memang aku sempat shock dan pingsan ketika mengetahui Roy meninggal dalam kecelakaan pesawat di Solo beberapa waktu silam. Berhari-hari lamanya mulai dari menjemput jenazah, menguburkan, dan mengadakan tahlilan di rumah, aku dirundung oleh perasaan bersalah, cemas, takut dan stress memikirkan kehidupanku tanpa dia.

Kemudian ketegaran itu datang tiba-tiba, saat semuanya harus aku sendiri yang menghadapi. Mulai dari membayar tagihan listrik, air, memperbaiki alat-alat rumah tangga yang rusak, semuanya membuat aku semakin yakin akan kemampuanku sendiri. Belum lagi pekerjaan di kantor pun menyelamatkan aku dari kesepian setiap hari. Kadang aku memang sengaja menenggelamkan diriku dalam pekerjaan hanya untuk mengusir rasa takutku jika terlalu lama berada di kamarku sendirian.

Pada akhirnya aku merasakan bahwa semuanya berubah. Bukan karena adanya cinta baru, tapi lebih kepada sesuatu di dalam diriku yang merasakan bahwa memang sudah saatnya aku tidak terpuruk oleh kenyataan pahit ini. Aku pun mulai merasa santai dalam menjalani hari-hariku. Cuma, akhir-akhir ini memang ada masalah yang menggangguku. Entah kenapa di saat aku sendiri seperti ini bukan hanya laki-laki yang mulai mengadakan pendekatan kepadaku, tapi beberapa orang wanita juga. Kadang-kadang aku mematut diriku lama-lama di depan cermin riasku hanya untuk memastikan apakah aku punya tampang yang mengundang para wanita itu?

Sampai suatu saat aku baru menyadari sesuatu yang mungkin menjadi jawabannya. Aku memasang cincin pernikahan almarhum Roy di jari tengahku. Sebenarnya itu menurutku bukan sesuatu yang tidak wajar. Aku ingin menyimpannya, tapi entah kenapa aku ingin memakainya juga. Dan satu-satunya jari yang sesuai untuk memakainya adalah jari tengahku.

"Cha, apa bener kalau orang pakai cincin di jari tengah itu lesbian?", tanyaku pada Ocha rekan kerjaku di suatu kesempatan makan siang.
"Ah, enggak juga. Tapi memang katanya ada yang bilang seperti itu sih, Res." Berarti pikiranku tidak salah tentang cincin yang disematkan di jari tengah.
"Apa sebaiknya aku copot saja cincin suamiku ini?"
"'Ga papa koq. Kenapa sih kamu mikirnya ke situ?"
"Apa aku punya tampang seperti seorang lesbian?"
"Kamu tuh Res, bukan tampang lesbian tapi tampang mesum!", kata Ocha sambil ketawa.
"Ih, ditanya serius juga.", protesku.
"Udah deh, cuek aja. Lagian sebenarnya nih, aku mau tanya, kenapa sih kamu masih pakai cincin kawin almarhum suamimu?"
"Aku masih sayang sama dia, Cha. Pernikahan bagiku cukup sekali saja, takkan ada lagi cinta ke dua dan seterusnya."

"Padahal kamu tuh masih oke lho Res, tampang cantik, body slim gitu. Gue aja kalo cowok naksir deh."
"Tuh kan mulai, aku tuh bukan lesbian tau!", gurauku.

Lalu, seperti menjadi sebuah kebiasaan, aku mulai suka memandangi cincin di jari tengahku. Di setiap ada kesempatan untuk melamun, pasti aku pandangi dia. Kenangannya memang terlalu indah. Roy melamarku pada saat hujan gerimis di kota Bergheim. Saat kami berdua menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang sedang tugas belajar. Waktu itu aku melihat senyumannya yang teduh seperti keteduhan cuaca di sekitar sungai Rhein. Jika aku menatap cincin polos itu, aku selalu menangis, kemudian berdoa bagi dia. Apakah memang aku masih mencintai dirinya? Yang jelas aku merasa bahagia telah membuat keputusan yang tepat saat aku memutuskan untuk menikahinya.

Malam ini, aku dan Ocha janjian makan di Kashiwa. Selesai memesan makanan, aku pamit ke toilet sebentar. Sebenarnya ini acaranya Ocha. Dia ingin memperkenalkan pacarnya, Ichiro, yang berkebangsaan Jepang itu padaku. Katanya sudah hampir 3 tahun berteman, sudah selayaknya dia memberitahukan pacar rahasianya kepadaku. Sungguh tersanjung juga sih punya teman seperti dia. Ocha membeberkan semua rahasianya kepadaku, sampai-sampai dia ceritakan juga apa kebiasaan Ichiro jika sedang gugup. Kenapa Ichiro disebut pacar rahasia Ocha, karena selama ini Ichiro tidak pernah memperlihatkan dirinya kepada teman-teman Ocha. Dari foto yang pernah diperlihatkan kepadaku sih, Ichiro ganteng. Serasi dengan Ocha yang cantik dan periang itu. Kadang-kadang aku merasa iri akan kebahagiaan mereka mengingat saat ini aku sendiri.

Di toilet aku berpapasan dengan seorang wanita, cantik dan ramah. Aku masih melihatnya tersenyum padaku ketika aku memasuki salah satu ruang toilet. Di dalam toilet aku berpikir keras, sepertinya aku pernah melihat wanita itu. Tapi semakin keras otakku berpikir, rasa-rasanya memoriku akan dia semakin menghilang.

Aku sangat terkejut ketika melihat dia masih di dalam toilet sambil merokok. Aku semakin menciut, dan berprasangka aku akan berurusan dengan hal-hal yang konyol mengenai cincin di jari tengahku itu. Aku melewatinya saat hendak mencuci tangan.
"Resya, ya?", tanyanya.
"Ya?", hanya itu yang bisa aku ucapkan kepadanya. Otakku berputar keras untuk memikirkan kembali sosok yang sedang berhadapan denganku ini. Rasanya belum terlalu lama aku bertemu dengan dia. Jika dia itu rekanan perusahaan, sudah pasti aku akan segera hafal begitu dia menyebutkan namanya. Beberapa kali terjadi memang seperti itu, tapi aku kemudia cepat mengenalinya sebab aku sering memberi inisial nama perusahaannya di belakang namanya.
"Aku Irene." , katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku masih tertegun dan mengira siapakah dia. Seingatku tidak ada rekanan perusahaanku yang bernama Irene. Nama yang hampir mirip adalah Airin, dari perusahaan distribusi produk elektronik ternama.
"Oh, sebentar, aku hendak cuci tangan dulu.", kataku begitu melihat tangannya bergerak seakan hendak menyalamiku.
Tapi dia tidak peduli. Dengan kasarnya ditariknya tanganku. Aku memberontak dari cengkraman tangannya. Yang aku takutkan adalah cara dia memegang rokok, yang seakan-akan mengancam hendak menyundut telapak tanganku.
"Bajingan kamu Resya! Pelacur!", umpatnya kepadaku.
"Apa - apaan ini? Apa maksudmu?", teriakku setengah menjerit.
"Kamu memang tidak tahu, tapi Roy yang sudah meninggal tidak bisa menjawabnya lagi."

Aku kembali dilanda kebingungan. Irene? Roy? Siapakah dia sebenarnya? Ada hubungan apa antara mahluk kasar bernama Irene ini dengan almarhum Roy suamiku?
Tangan-tanganya bergerak cepat. Dengan kasarnya dia meraih cincin kawin di jari tengahku. Begitu cincin itu terenggut, cincin itu diacung-acungkan tepat di mukaku. Aku melihat dia bukan lagi seorang wanita yang cantik, tapi seekor banteng yang hendak memporakporandakan tubuh seorang matador.

"Sabar dulu, katakanlah apa maksudmu." kataku lagi mencoba menenangkan dirinya.
Entah kenapa, dia tiba-tiba menangis. Bahunya terguncang-guncang keras. Pegangan tangannya di lenganku melemah. Rokoknya jatuh di lantai toilet.
"Roy sering menyembunyikan cincin ini ketika dia berada bersamaku.", jawabnya singkat sambil terus mengacungkan cincin kawin Roy di depan mukaku. Aku menunggu kata-kata apa lagi yang hendak diucapkannya.
"Aku dan Roy sudah berpacaran selama empat bulan semenjak dia ditugaskan ke Solo."

Darahku naik mendengar pengakuannya. Dalam hatiku ingin merutuki Roy. Tapi kemudian aku sadar, tangisanku tidak mengubah apapun lagi. Tapi ini berarti sudah cukup lama Roy mengkhianati cintanya. Sementara aku sampai saat ini masih berusaha memenangkan cintanya atas cinta lelaki-lelaki lain yang datang setelah mengetahui aku ini seorang janda.
"Dia berjanji akan menikahiku, Resya. Kau tidak sadar betapa bajingannya dia?", katanya lagi. Amarahnya sudah mulai turun. Nafasnya tidak lagi tersengal-sengal ketika berkata.
"Kita sudah sama-sama terluka oleh orang yang telah tiada. Jadi buat apa kamu lakukan ini semua?" kataku menenangkan dirinya sekaligus aku sendiri.
"Dia telah menipuku, dan juga menipumu sekaligus."
"Tidak ada alasan bagimu untuk membenci aku bukan? Seharusnya aku lah yang membenci dirimu. Tapi karena aku tidak tahu apa yang terjadi, lebih baik kita lupakan ini semua."

"Aku benci cincin ini!", teriaknya sambil tetap mengacungkan cincin suamiku di mukaku. Aku tidak habis pikir. Kenapa dia begitu benci pada sebuah benda. Dia tidak membenci aku, tapi sebenarnya amarahnya ini ditujukan kepada almarhum Roy.
"Buanglah jika kau mau, mungkin memang seharusnya aku tidak memakainya.", kataku. Sebenarnya kata-kata ini mengandung keraguan mengingat aku masih mempunyai perasaan cinta kepada almarhum, akan tetapi dari pengakuan Irene aku juga baru dibukakan mata bahwa almarhum suamiku telah menipu diriku.
"Jadi kamu mengijinkan aku untuk membuangnya?", tanyanya seperti meminta persetujuanku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum pahit menjawab pertanyaannya. Dia mencampakkan cincin itu entah kemana. Suara dentingan logam terdengar di dalam ruang toilet yang sepi. Bunyinya sedemikian dingin, seperti hatiku yang entah kenapa juga menjadi dingin akan cintaku pada almarhum.

Selanjutnya dia tersenyum manis sekali kepadaku, sehingga membuat aku sedikit jengah. Aku membalas senyumannya dengan senyum biasa saja. Dia menangis kembali sambil memelukku. Pada saat seperti itu, aku merasakan kehangatan kasih sayang yang tulus keluar dari dalam jiwaku. Mungkin jika ada orang yang bisa melihat aura, di sekitarku sudah merah menyala karena panasnya cinta. Dalam pelukannya, aku merasakan kepedihan yang dalam. Aku merasa bukan lagi sebagai Resya tapi akulah Irene. Dua wanita dengan hati yang hancur bersatu dalam satu pelukan dan tangisan. Yah, tanpa sadar akupun ikut menangis. Entah karena apa.

Keluar dari toilet, aku bergandengan tangan dengan Irene. Aku yakin Irene di sebelahku tersenyum juga seperti aku. Aku menuntun Irene ke meja tempat Ocha dan Ichiro menunggu. Ocha tampak bingung melihat kami datang. Apalagi sambil bergandengan tangan. Ekspresinya seperti seseorang yang melihat hantu saja. Aku tersenyum lebar, dan melambaikan tanganku yang sudah tidak memakai cincin di jari tengahku. Dalam hatiku aku tahu bahwa tidak perlu ada cincin di jari tengah untuk menyatakan bahwa cinta telah ada di antara aku dan Irene. Cinta memang tidak perlu waktu lama untuk menampakkan dirinya. Lewat peristiwa singkat di toilet restoran itu, cinta terlarang telah tumbuh. Dan semua itu bukan karena cincin di jari tengah. Tapi karena cinta terlarang yang lain.

Jakarta, 06 Juni 2006.

Monday, September 11, 2006

Ketika Malam Menawarkan Purnama

"Laki-laki tak tahu malu!"

Umpatan itu kudengar saat aku mendayung sampanku mendekati dermaga. Aku jadi memandanginya, sang pengumpat itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia mengajakku bicara? Tetapi nampaknya tidak, sebab tatap matanya terus memandang ke arah cakrawala. Aku tak tahu apa atau siapa yang sebenarnya dia umpat waktu itu.

Rasanya sudah berhari-hari aku melihatnya di situ, di sebuah dermaga kecil di bibir pantai yang selalu basah oleh angin laut yang membawa butiran embun yang berasal dari kelincahan ikan pari yang menari-nari menghindari jala nelayan sepertiku. Dia selalu berdiri bagaikan tugu peringatan tsunami yang dipasangi alarm yang berbunyi ketika petugas pengawas pantai melihat gelombang yang sangat besar. Tetapi aku melihat dia bukanlah salah seorang dari pengawas pantai yang ditugaskan di dermaga kami. Dan anehnya, semakin hari ada kerinduan jika aku tidak mendapati dia berdiri di dermaga itu. Rindu? Ya, begitulah aku. Setidaknya kehadirannya di dermaga itu membuat ada yang ingin kutemukan terlebih dahulu sebelum aku mencapai ujung dermaga itu. Mungkin sebuah perasaan yang sama saat Christopher Colombus ketika meninggalkan Palos dan mulai menghitung masa pelayarannya lalu memandang cemas akan keselamatan Nina dan Pinta, kedua kapal tambahannya. Ah pikiranku mungkin terlalu kacau, sebab dia adalah penunggu sesuatu atau sesiapa di sebuah dermaga, sedangkan Colombus adalah pelayar dan petualang hebat.

Ada yang lupa kusebut, dia itu seorang wanita. Tinggi semampai dengan rambut lurus panjang hampir menyentuh buah pantatnya. Selalu terurai, tidak peduli hujan atau panas. Rupanya elok, hampir bisa dikatakan sempurna. Beberapa orang pemuda memandangnya dengan tatapan penuh nafsu, tetapi kemudian mereka berlalu karena menganggapnya gila. Pernah suatu waktu aku melihatnya sedang bicara dengan seekor camar yang sibuk menghancurkan ketam dengan paruhnya.

"Dendam kah kau dengannya? Sampai begitu tega kau hancurkan seluruh hidupnya. Aku tahu engkau adalah pemangsa. Tapi apakah benar dalam hatimu tidak pernah tersirat secuilpun rasa iba? Bagaimana jika kau melihat sarangmu diobrak-abrik oleh seekor ular lalu telur-telurmu diremas dan diremukkan untuk kemudian habis dihisap sarinya? Kau pun akan kecewa pada kehidupan ini bukan?", katanya sambil bersidekap tanpa mencoba mengusir camar yang terlalu sibuk menghabiskan rasa laparnya.

Dia lalu mengepakkan tangannya meniru gerakan burung camar yang terbang dan menukik di antara gelombang laut itu. Aku tersenyum melihatnya, anehnya dia tidak merasa terganggu dengan senyumanku itu. Dermaga kayu menjelma menjadi ruang teatrikal sebuah persembahan sendratari gratis yang cukup menghibur. Ketika camar masuk ke dalam air laut, dia menyudahi gerakannya dengan bersimpuh. Erat dan kuat seakan seekor lintah yang menyedot darah di ujung kaki. Aku menilainya sebuah kepasrahan. Iri hatiku ketika menyaksikan pemandangan tersebut, mungkin seharusnya seperti itulah gerakan sujudku ketika sembahyang. Mendekap erat perut bumi seperti seorang anak yang hendak menyusu kepada sang ibu. Lekat, tak ingin lepas.

Pada seekor ikan yang menggelepar di ujung kail pemancing dia berseru, "Teriakkanlah kebebasanmu sekarang! Dunia menjadi ruangan penuh ikatan, tak sadarkah kau sebelum kau melumat umpan yang terkail pada mata pancing engkau sesungguhnya sudah berikatan dengan takdir bahwa malam nanti hidupmu sudah berubah menjadi teman sepiring nasi hangat dan sesendok sambal terasi? Maka dari itu, sekaranglah kau teriak agar kebebasan mengenangmu sedemikian dekat!"

Orang-orang tertawa mendengar kata-katanya. Mereka semakin yakin bahwa dia itu tidak waras. Aku malah menangis, perkataannya seakan menyindirku yang terbelenggu oleh keadaan yang biasa dinamakan kemiskinan. Sementara ini, mungkin takdir hanya memperbolehkan aku membawa sepuluh ribu rupiah hasil penjualan ikan tadi yang sudah dikurangi dengan ongkos sewa perahu dan biaya bahan bakar.

Aku lesu dalam perjalananku pulang ke rumah, tempat istri dan anakku menunggu kabar gembira semalaman. Aku tahu dengan pasti, istriku pasti sudah banyak memanjatkan doa untuk keselamatan dan tentu saja hasil yang menggembirakan dari usahaku melaut. Dia pasti akan sedih jika mengetahui betapa susahnya aku dan teman-teman dalam mencari ikan akhir-akhir ini. Aku tidak bisa kenapa sebabnya, sebab aku hanyalah seorang nelayan bersampan kecil, itu pun sewaan.

Satu hal yang membuatku merasa terhibur saat - saat ini hanyalah dia, penunggu dermaga. Orang-orang menyebutnya demikian sebab sudah terlalu lama dia berada di situ. Kehadirannya seperti tanpa awal sebab tiba-tiba saja sewaktu hujan gerimis pertama dia sudah berada di sanan dan sepertinya tidak akan berakhir di awal musim semi nanti. Aku jadi berpikir, apakah dia adalah peri hujan yang didongengkan waktu aku masih kanak-kanak?

Aku mendengar dia kembali tertawa. Dalam tawanya dia sebut satu nama, Rasya. Entah kenapa aku langsung mengkaitkan nama itu dengan bahasa Arab yang aku kenal dan membentuk suatu wujud anjing besar bergigi tajam yang tinggal di dalam hutan yang tak pernah aku temui sebab aku ini seorang nelayan bukan penebang kayu. Rasya memang serigala artinya. Tetapi aku tidak tahu siapakah Rasya yang disebut oleh penunggu dermaga itu, sebab namaku pun Rasya. Apakah dia memanggilku?

Dengan ragu aku menatap ke arahnya, dia pun memandangku.
"Apa kabar?", tanyanya dengan mimik muka yang kaku. Kelihatan sangat lucu.
"Tidak begitu baik" jawabku ragu.
"Ah, duduklah sini dekatku, aku selalu ingin mendengar kabar sedih", katanya lagi sambil melambai ke arahku dan membuat isyarat untuk duduk di sampingnya. Lalu tangannya membersihkan debu di sekitar tempat dia duduk. Seperti menghormatiku dengan sedemikian tulus. Aku agak jengah dengan keramahan itu.
"Siapa Rasya yang kau sebut tadi?", kataku membuka kedok kaku yang terpasang dengan kuat di mimik wajah tuaku.

"Rasya? Apakah kamu keberatan aku menyebutkan nama itu?", tanyanya.
"Tidak, aku pun disebut begitu oleh ibuku."
"Betapa suatu kebetulan. Tapi aku tidak punya masalah dengan kau. Cuma aku sempat mendengar kau berkata tentang kabar yang tidak begitu baik. Dapatkah kau ceritakan padaku? Tentunya jika kau tidak berkeberatan", senyumnya masih menghiasi kata-katanya. Dan entah aku yang tersihir oleh senyuman itu maka dengan lancar seperti bergulirnya matahari senja itu ke akhir horizon aku pun bercerita tentang sebuah rasa putus asa.

"Alam kadang tak mau tahu!"

Sebuah umpatan yang tidak kuduga akan keluar sebagai kesimpulan intepretasinya atas deritaku yang aku ceritakan kepadanya. Aku pun kembali memandangi sang pengumpat dengan hati penuh pertanyaan. Kenapa dia selalu mengalihkan objek persoalan saat datang sebuah hal kepadanya?

Mungkin dia tak begitu menangkap ceritaku yang memang melompat-lompat seperti ikan di laut yang sekarang susah sekali untuk aku tangkap. Gaya bicaraku kah yang membuatnya demikian? Entah lah. Dan tiba-tiba ada yang melintasi pikiranku, sebuah pagar! Aku mungkin sedang berjarak dengan penikmat ceritaku ini, tapi sungguh aku tak ingin membuatnya merasa demikian. Maka dengan tegas aku tanyakan kepadanya, "Kenapa engkau mengumpat kepada alam?"

"Tak kau lihat bahwa matahari sekarang sudah hampir tertidur, sementara aku belum bisa dengan benar mencerna cerita sedihmu tadi. Dan kini aku pun terdesak dengan pikiran untuk mencari tempat untuk tidur", jawabnya dengan ekspresi yang tak bisa kukatakan.

"Sekiranya aku mempunyai rumah yang layak untuk bisa kau singgahi, maka aku tak akan segan untuk menawarimu menginap di sana", kataku datar. Tanpa alasan untuk sekedar berbasa-basi. Matanya berbinar. Aku pun tergetar, sudah lama aku tak melihat mata wanita yang begitu cemerlang hingga seakan muncul cahaya di kedalaman palung matanya yang langsung menusuk jantungku. Dan hampir runtuh bangunan penyangga jiwaku saat dia katakan betapa sudah lama dia ingin mendengarkan sebuah kata ajakan.

"Sudah berapa lama tak kau dengar kata itu?", kataku sambil menata dinding di hatiku yang tadi sempat limbung.
"Sejak sebuah perpisahan", jawabnya singkat. Mungkin ini adalah saat paling kritis bagi semua tanya sejak kulihat dia di tepian dermaga untuk kali yang pertama, jika saja aku bisa membuka pintunya dengan pertanyaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
"Perpisahan memang menyakitkan", kataku pelan. Hampir tak terdengar.
"Lebih menyakitkan mana dengan deritamu hari ini?", malah dia balik bertanya. Aku pun gelagapan. Kemudian kusadari bahwa aku tak layak berada dekat dengannya untuk sebuah permainan sederhana. Aku pun mulai beringsut untuk menghindar.
"Malam sudah datang, eh ..siapa namamu?"
"Senang berkenalan denganmu Rasya, aku lah Malam", dia mengulurkan tangan dan sekali lagi mengulas senyum.

Aku terbahak, betapa tidak? Aku seperti baru tersadar bahwa dia memang gila. Kenapa aku menanti sinar matanya padahal banyak kata yang sudah cukup menggambarkan kegilaannya? Tapi kemudian kulihat ada rinai gerimis yang mengalir dari kelopak matanya. Dia menangis, seakan bisa mengartikan cara tertawaku yang memang bermaksud menghina namanya.

"Maaf jika aku menyinggungmu, Malam", aku mencoba membayar tangisannya dengan sebuah permintaan maaf, lalu kulanjutkan dengan sebuah pertanyaan lain, "Namamu sungguh misterius untukku, sehingga aku mengira engkau bercanda. Kalau boleh tahu, siapa yang memberi nama itu untukmu?".

"Ah, kenapa harus ada malam untuk bisa menyebut namaku?", Malam pun mengeluh untuk sesuatu hal yang aku belum penuh. Aku segera berdiri, rasanya seperti tak ada yang bisa kupetik dari perkenalan senja ini. Lucu rasanya jika ada yang kemudian menertawakanku demi melihat senja ini telah membuat aku bertemu dengan Malam.

"Mau kemana Rasya? Bukankah serigala selalu menunggu bulan untuk bisa berteriak? Sebentar lagi dia datang, dan jika itu tiba teriakkanlah penderitaanmu. Melolonglah sebagaimana seekor serigala yang tak pernah puaskan rindu pada purnama yang mungkin bisa melepas kutuknya menjadi manusia biasa.", katanya tiba-tiba.
"Aku mau pulang, sudah malam. Anak-istriku perlu makan", letih dan malasku bercampur sebagai jawaban.
"Kau tak mau hidupmu berubah ? Selamanya tetap menjadi manusia miskin dengan cara merayapi perut laut itu?"
"Apakah benar ceritamu itu? Bahwa sebentar lagi akan ada keajaiban?"
"Asal kamu mau melakukan syaratnya saja"
"Kenapa harus ada pengorbanan untuk setiap rasa kemenangan?"
"Seorang atlit pun berlatih lebih dari sehari demi sebuah perlombaan tahunan yang diadakan hanya sehari saja"
"Jadi…?"
Aku melihat tangannya menjulur di hadapanku. Aku tak tahu apa maksudnya. Tapi yang terjadi kemudian adalah sebuah pelukan.
"Dengan tubuhku, kau bisa memandang purnama. Melolonglah ketika melihatnya, dan hidupmu pasti akan lebih mudah mulai hari ini", ada nafas yang menderu menegakkan kudukku saat dia bicara.
"Apakah ini berarti…"
Telunjuknya menutup bibirku, meskipun jika tidak ditutup aku masih tidak bisa mengatakan ke arah mana pembicaraannya.

"Malam kenapa ada engkau saat seperti ini?"

Umpatan itu keluar dari mulut dan hatiku. Jujur saja aku bingung. Dia wanita yang cantik dan kesepian. Aku lelaki yang kalah perang. Keduanya butuh sebuah hiburan. Apakah lalu bercinta akan menjadi ritual ? Sedemikian gampangkah kita melepaskan kelamin tanpa menungganginya dengan hati dan kesadaran? Tuhan selayaknya hadir pada saat-saat yang genting dengan membawa sejumlah teguran.

"Kau sadar akan apa yang kau ucapkan?", tanyaku sekaligus untuk mencoba menentang keinginanku juga.
"Sebentar lagi, dermaga ini agak gelap dan sepi. Tidak banyak mata yang menuju ke arah sini. Akan kutunjukkan jejak rembulan yang tadi malam sudah kutelan bulat-bulat di dalam hidupku", kata Malam meyakinkan.
"Lalu kau inginkan apa dari diriku sebagai pengorbanan?", sesuatu yang tak pantas kutanyakan padanya.
"Rupanya engkau belum mencerna betul ucapanku, serigala. Jika engkau ingin menjadi manusia kembali, kau harus mampu menantang purnama. Jika purnama kalah, maka malam pun punah. Aku ingin memunahkan namaku yang begitu kelam", dengan isak yang masih tersisa dia mengatakan teorinya.
"Aku ini manusia, dan kau juga. Kita bukan sesuatu yang absurd!", tukasku. Ingin segera kuselesaikan segala teka-teki yang terjadi dari kisah ini.
"Aku sadar itu, dan hasrat adalah bagian dari kehidupan jasad seorang manusia bukan?", katanya setengah bertanya. Dia membimbing tanganku menelusuri lekuk tubuhnya. Perlahan dan semakin perlahan kami menarikan ritual pemanggilan purnama di tepian dermaga.

"Dimanakah purnama yang kau sembunyikan?", tanyaku dengan nada putus asa, sebab kurasa dia sudah mendustaiku dalam setiap tarikan nafasnya. Malam pun membentangkan tubuhnya. Polos tanpa noda. Ada banyak bintang yang terbayang di titik air mata dan keringatnya.

Dia menatapku lekat. Tak bicara. Laut kurasa diam. Malam (malam yang sesungguhnya) diam. Ada erangan tertahan. Rupanya dia mengejan. Kurasakan cengkeraman yang kuat di kedua bahuku. Hampir mengaduh aku dibuatnya.

Malam pingsan. Aku sedikit terhibur, mungkin sudah saatnya aku lepas darinya. Tapi tidak. Ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Bentuknya bulat dan bersinar redup dalam genangan darah. Ah, darah? Kubuka kaos bututku lantas kugunakan sebagai pembersih darah yang menutupi permukaan benda bulat yang keluar dari tubuhnya. Ada sinar yang semakin terang. Persis seperti purnama. Ah, tidak!

Tanpa sadar aku melolong seperti seekor serigala karena aku kalut pada keadaan malam itu. Lalu beramai orang datang menangkapku dan menyematkan sebuah berita untuk koran pagi "Nelayan miskin membunuh orang gila untuk sebuah berlian"

Jakarta, 25 Agustus 2006.

Dua Tetes Gerimis Terakhir

Ia, Nawangsih. Cucu Nawang Wulan. Bidadari yang rela bertelanjang dada untuk menyuburkan imajinasi anak manusia tentang bidadari, kahyangan dan para dewa. Ibunya, Nawang Sari, sering mendongengkan kisah pengorbanan dan kesetiaan para bidadari terhadap manusia. Dimana bidadari harus selalu menyembunyikan keceriaan karena manusia selalu tak sabar ingin mendapatkan rejeki yang dititipkan dewa pada selendang mereka yang berkibaran saat bidadari itu terbang. Bagi kebanyakan manusia, bidadari hanya dianggap sebagai pelangi yang hadir setelah gerimis. Namun tidak bagi Jaka Tarub. Diam-diam diurainya ujung pelangi, dan didapati pada sebuah telaga para bidadari itu mandi. Sebuah cerita yang sering diulang-ulang ibunya, sebelum Nawangsih pergi menjemput mimpinya.

Ia, Nawangsih. Cucu seorang bidadari yang dikenangnya lewat dongeng ibunya. Juga dari kesedihan yang dipancarkan oleh keluhan kakeknya Jaka Tarub. Manusia yang ingin menentang keajaiban alam. Hidupnya sebagai petani tak memuaskan keinginannya untuk melihat keganjilan yang alam berikan. Tak cukup puas hatinya melihat benih yang bertunas sebagai tanda kekuasaan dewa. Matanya diliarkan untuk menangkap keberadaan mahluk-mahluk dari surga. Salah satunya adalah bidadari Nawang Wulan yang punya kebiasaan mandi telanjang di sebuah telaga. Hingga lahirlah Nawang Sari, ibu dari Nawangsih. Dan buah dari sebuah peristiwa ajaib juga lah yang menjadikan Nawang Wulan menemukan selendangnya dan kembali menjelma sebagai seorang bidadari sejati. Lalu pergi ke kahyangan tempat dia harus mengabdi.

Hari ini, segala kisah tentang neneknya telah memenuhi segala ruas tulang di rongga dada. Nawangsih menangis sejadi-jadinya. Ia meluapkan kerinduan tanpa kata-kata, hanya air mata.
"Kenapa, nak?", tanya ibunya demi melihatnya menangis.
"Apakah nenek itu benar-benar ada?", tanyanya dengan air muka sembab oleh tangis.
"Benar. Nenek itu benar-benar ada".
"Bagaimana rupanya? Aku ingin bertemu dia".
"Ibu harus bicara dulu dengan kakekmu. Ibu dari dahulu tak pernah bisa bertemu lagi dengan nenek, karena kakek telah melanggar janjinya".
"Aku ingin bertemu nenek!", teriak Nawangsih. Lalu ia menangis lagi.
"Baiklah, ibu akan ke tempat kakek. Mudah-mudahan kakek mau meluluskan permintaanmu sebagai cucunya".

Berangkatlah Nawang Sari ke tempat Ki Jaka Tarub berada. Desa Tarub. Demikian dinamakan tempat itu bukan karena ramai orang memuja kepahlawanan Ki Jaka Tarub mengambil selendang bidadari, tetapi memang demikian lah namanya. Justru Jaka Tarub lah yang mengambil nama dari desanya. Nawang Sari setelah menikah diboyong suaminya ke desa lain. Demi memenuhi permintaan anaknya Nawang Sari pun berjalan seorang diri.

Siang itu tampak mendung. Ada awan hitam yang bergulung. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Nawang Sari kuatir sebab anaknya sangat takut pada bunyi petir. Suara yang menggelegar mirip suara Krisna yang sedang Triwikrama. Dia ragu-ragu untuk melanjutkan langkah.

Bagaimana ini? Kuteruskan saja perjalananku ke tempat ayah? Atau aku mesti pulang, sebab Nawangsih pasti ketakutan!
Dia pun berdiam diri. Sejenak termangu.

Ada kilat yang menyambar. Hujan sudah hampir tumpah di perjalanannya. Buru-buru dia mencari tempat berlindung. Sebuah dangau agak terpencil menjadi sasarannya. Dia pun berlari berpacu dengan gerimis.
Tiba-tiba.
"Ayah?"
Nawang Sari segera mengenali sosok lelaki tua yang sedang berteduh di dalam dangau itu.
"Nawang Sari?", tanya Ki Jaka Tarub dalam keterkejutan.
"Kamu mencariku?", tanyanya kemudian.
"Iya ayah. Nawangsih ingin sekali bertemu dengan ibu". Ada raut kecemasan di wajah Nawang Sari saat mengatakan hal itu.
"Bukannya kamu juga tahu sendiri, Nawang Sari. Tak mungkin bagiku untuk menemui ibumu. Sepanjang hidupmu bahkan dipenuhi oleh tangisan kerinduan kepadanya. Aku sudah bukan suaminya lagi di matanya". Ki Jaka Tarub menghela nafas.
"Apakah ibu memang benar-benar tidak memaafkan ayah?"
"Aku tak tahu. Yang jelas kamu sendiri sudah merasakan hidup tanda dia."
"Tak mengapa aku menjadi korban atas perceraianmu. Tapi sekarang anakku? Dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi!", Nawang Sari terisak.

Gerimis tidak mampu menghapuskan kesedihan bapak beranak itu. Sesekali petir membuat mereka semakin kuatir. Lalu hujan mengguyurkan tubuhnya di atas bumi.
"Tak ada cara lain?"
"Untuk menemuinya? Aku tak tahu cara apa lagi yang mampu meluluhkan hatinya."
"Sedemikian keraskah ibu kepadaku juga?"
"Baginya, yang telah terjadi hingga engkau lahir, adalah karma".
"Karma? Lantas siapakah yang telah menitipkan roh kepadaku? Reinkarnasi dari siapakah aku?", Nawang Sari sedikit meraung.
"Mungkin kamu harus mencari tahu soal itu". Lagi-lagi Ki Jaka Tarub menghela nafas. Berat. Sesak. Tak beda dari isak Nawang Sari yang kian kerap.
Lalu lanjutnya," Sebab aku pun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi saat itu".
Keduanya terdiam meski bukan oleh udara yang lembab. Sama-sama menangis. Hujan dan tangisan seperti sudah ditakdirkan untuk bersatu. Hujan habis, berganti gerimis.
"Aku ingin melihat pelangi", gumam Ki Jaka Tarub.
"Aku rindu ibu", Nawang Sari lirih berbisik.

Di rumahnya, Nawangsih baru bisa tersenyum. Setelah dari tadi perasaannya dipelintir oleh bunyi petir. Semenjak ibunya pergi dan awan hitam datang menutupi pandang, dia dicekam ketakutan. Sekarang, di balik jendela rumahnya dia bisa melihat tangga pelangi yang berjuntai. Ada banyak bidadari yang muncul bersama tangga pelangi. Seorang bidadari menari di tiap anak tangganya.
"Bidadari-bidadari, adakah yang tahu dimana nenekku sembunyi?", jeritnya kegirangan ketika dilihatnya mereka semakin nyata.
Bidadari-bidadari itu kemudian beterbangan. Serupa dengan kupu-kupu besar yang berseliweran di sekitar nyala lampu obor kala malam menjelang. Mereka bersembunyi di balik awan putih tipis yang turun. Kabut.

Nawangsih berlari keluar rumah. Tak dihiraunya gerimis dan kabut. Dia mencari kemana bidadari itu pergi.
"Jangan mendekat, anak manusia!", ada gertak yang didengar.
"Aku hanya ingin menemui nenekku. Dia seorang bidadari. Nawang Wulan namanya", ibanya pada suara yang menggertak.
"Kami takut padamu anak manusia", demikian jawab yang didengarnya.
"Aku hanya anak-anak", Nawangsih memulai tangisannya.
"Ibumu memang anak bidadari. Tetapi kamu anak manusia biasa, sebab darahmu hanya mengandung sedikit saja darah bidadari", masih saja suara itu terdengar keras.
"Kami tidak bisa bertemu lagi dengan manusia. Akan ada petaka bagi kami", lagi-lagi suara itu terdengar.
"Aku hanya ingin bertemu nenekku. Nawang Wulan", pintanya diselingi tangisan.
"Nawang Wulan sudah tidak pernah lagi bisa turun ke bumi. Dia tengah menjalani hukuman, karena cintanya pada kakekmu Jaka Tarub".

Nawangsih menangis keras.
Dia tahu dia tidak akan bisa memenuhi rasa rindunya. Meskipun itu sangat dekat. Dia sudah berbicara dengan para bidadari hari ini.
"Jika memang begitu adanya, titipkanlah salam cinta dan rinduku sebagai seorang cucu", pintanya pasrah.
Kabut itu tiba-tiba menghilang. Seiring dengan munculnya sinar matahari sore yang keemasan. Tangga pelangi tak ada lagi.

Dua tetes sisa gerimis menitik tepat di dahinya. Nawangsih mengusapnya dengan lembut. Seakan-akan dia telah merasakan kecupan mesra seorang nenek yang sangat mencintainya.

"Nawangsih!", dari jauh terdengar suara ibunya.
Lalu ada suara lain yang memanggil namanya juga. Suara kakek. Sudah lama sekali kakek tidak mengunjunginya. Setidaknya cukup bisa melampiaskan rindunya, meski tak sama.

"Kamu tidak apa-apa, nak?", tanya ibunya lembut.
"Tidak bu. Barusaja aku bicara dengan bidadari", jawabnya riang.
Nawang Sari dan Ki Jaka Tarub berpandangan. Mustahil.
"Kamu lihat rupanya?", desak Nawang Sari.
"Tidak bu. Mereka berbicara dalam kabut", Nawangsih memandang heran.
Nawang Sari kembali menatap ayahnya. Ki Jaka Tarub mengangguk.
"Mungkin tadi nenekmu datang, cucuku", katanya sambil mengusap kepala Nawangsih.
"Aku koq tidak melihatnya?", tanya Nawangsih.
"Dia sudah tidak mau melihat kita lagi", jawab ibunya.
Lalu Nawang Sari mengajak Nawangsih masuk ke dalam rumahnya. Dengan sukacita ditariknya tangan kakeknya untuk menambal rindunya. Bidadari memang bukan mahluk yang gampang dipegang tangannya, demikian kesimpulan di otak kecilnya. Lebih baik kerinduan itu dipajangnya untuk kakeknya, Ki Jaka Tarub, yang telah membuat sebuah legenda untuk kehadirannya.

Nun jauh di kahyangan, Nawang Wulan menitikkan air mata. Tak sengaja tadi dia lakukan itu semua. Menampik kerinduan seorang cucu. Berat betul rasanya. Dunia harus berubah, dulu dia telah menjadi korban. Meski bukan sebagai balas dendam, namun keadaanya sekarang haruslah berbeda dari dulu kala. Tugasnya sebagai bidadari telah dinodai, sekarang dia harus dalam sebuah penyucian. Diredamnya segala cinta dan rindu pada anak-cucu manusianya. Dan hanya bisa dicurahkan pada dua tetes gerimis terakhir saat hujan akan reda. Setidaknya sore ini, cucunya telah merasakan bahwa dia pun rindu padanya. Nawang Wulan sedikit lega.

Sunday, September 10, 2006

Ki Slamet yang Melesat

Kami di sini bertiga.
Songko, Lihin, dan aku sendiri, Lon.

Kami baru bertemu di sini. Di tempuran kali. Persatuan tiga batang anak sungai tempat air bergulung deras dengan membuat pusaran dengan hawa yang menusuk tulang. Konon, di tempat seperti ini lah dedemit dan roh-roh alam bertemu. Sehingga kemudian banyak orang menganggap tempuran menjadi gerbang menuju alam gaib.

Kami sama-sama menggigil.
Songko, Lihin, dan aku saling berpandangan sejenak.
Ada banyak pikiran yang ingin saling menjatuhkan mengingat kami punya tujuan yang sama. Memburu sebuah pusaka kuno yang berjuluk Ki Slamet. Kami baru sadar jika bertujuan sama. Sebilah keris ingin benar kami miliki. Sebab ada yang memberikan saran demi sebuah kepentingan. Kemenangan atas ketakutan yang aku bawa sejak bertemu seorang dukun tua. Maka dengan penuh harap, kami tahan semua rasa dingin yang berderap di tiap lekuk tubuh-tubuh tua.

Songko yang kukenal dari sebuah percakapan singkat sejurus sebelum menceburkan diri tadi, adalah seorang pejabat di sebuah jawatan pemerintahan. Sebab dari tadi dia sering sekali ditelepon dari kantornya menanyakan beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan masyarakat.

"Ya, Berkas yang itu sudah saya sampaikan kepada Pak Bupati sendiri. Iya. Saya sendiri yang menyampaikan. Jadi kalau bisa jangan dihambat lagi soal dananya. Saya jamin. Besok pagi pasti Pak Bupati akan mengeluarkan instruksi. Pasti. Jadi tolong sekali lagi, soal dana itu bisa cepat dikeluarkan", demikian kata-kata yang terakhir dia ucapkan sebelum melakoni "tapa kungkum" ini. Songko segera menyusupkan telepon selularnya setelah ia matikan ke balik saku celana yang kemudian dilipat rapi.

Dia tersenyum ke arahku. Tatapannya seakan merendahkan. Memang aku mungkin yang paling miskin di antara tiga orang lelaki dewasa yang telanjang bulat di tempuran kali ini. Lihin, pada saat menuruni lembah sungai ini sempat bercerita bahwasanya dia menyengajakan diri melakukan ritual ini demi sebuah usaha mengelit dari kejaran penagih kredit bank. Dia seorang pengusaha.

"Gara-gara usahaku yang gagal, aku pun banting tulang untuk menutupi hutang-hutang. Gali lubang tutup lubang. Kamu pasti tahu sendiri kan? Orang-orang dari bank itu selalu membawa preman untuk menagih kredit. Kadang dalam sehari mereka bisa bolak-balik tiga kali. Pusing aku dibuatnya", Lihin mengeluh saat aku bertanya kenapa dia mau menjalankan ritual ini.

"Lalu kamu sendiri bagaimana?", tanyanya.

Kurasa pada saat aku menjelaskan bahwa aku harus bisa mendapatkan keris Ki Slamet ini, Songko telah mencuri dengar. Maka tak heran dia kemudian memandang rendah padaku. Hal seperti ini lah yang membuat aku nekad.

"Sudah hampir dua puluh tahun aku bekerja, sebagai pegawai tata usaha di sebuah percetakan ternama, dan hampir selama itu pula nasibku tidak berubah. Tidak pernah naik gaji. Tidak pernah naik jabatan. Masih pegawai biasa."
Songko kemudian menyela, "Kamu bodoh kali! Makanya tidak dipandang". Ketus.

Aku diam saja.
Mungkin saja dia benar. Aku bodoh. Tetapi yang aku tahu, aku adalah pegawai yang rajin. Tak ada cacat dan cela dalam pekerjaanku. Yang pasti, aku punya hati yang jujur.

Sambil menceburkan diri, Songko mengajukan sebuah penawaran kepadaku.
"Lon, kamu mau uang sejuta?"
Uang sebanyak itu memang kurang sedikit dari gajiku. Tapi cukup banyak untuk bisa meringankan beban hidup yang dirasa semakin kurang.
"Untuk apa?", tanyaku.
"Aku ingin tidak ada saingan untuk mendapatkan keris Ki Slamet ini". Singkat, tapi tajam. Dia ingin mengusirku dari arena pertandingan.
"Terimakasih, tapi aku lebih suka jika aku yang mendapatkannya", jawabku sambil memandang ke arah Lihin. Dia tampak kurang senang juga dengan tindakan Songko.

"Kalau kamu? Kamu mundur saja. Aku punya banyak proyek untuk bisa kamu kerjakan. Aku rasa bakal cukup sedikit demi sedikit melunasi kredit macet-mu".

Duh, Gusti. Apa semua pejabat bermental seperti dia? Menganggap masalah orang lain biasa saja. Mendewakan keinginan pribadinya.

Lihin diam saja. Tak banyak kata yang diucapkan semenjak menceburkan diri ke dalam air. Lelaki keturunan Tionghoa itu sepertinya menganggap angin lalu saja omong besar Songko. Tapi Songko masih mendesak.

"Bagaimana? Mau tidak?"

Lihin berdehem sebelum bicara.
"Lebih baik aku menghadap langsung ke Pak Bupati saja. Daripada terima proyek yang belum jelas dari anda. Karena waktu pilkada kemarin, utusan Pak Bupati datang ke kantor bapakku untuk minta dukungan."
"Lha, kamu ini punya bapak hebat koq tidak dimanfaatkan?"
"Pantang bagiku minta tolong pada bapakku untuk kali yang ketiga. Sudah lah, sebaiknya kamu diam saja."

Kami terdiam.
Segera memulai ritual. Rupa-rupa mantera segera saja berselancar di bibir kami. Intinya sama saja. Memanggil roh-roh alam agar mau dekat. Meminta tolong kepada mereka. Untuk menyampaikan keinginan kami kepada Yang Maha Esa. Sebab roh-roh alam berada di balik tabir yang kelihatan nyata. Lalu sebuah keinginan yang sebenarnya pun mulai dibaca. Keinginan memiliki senjata rahasia. Penangkal segala rasa takut yang mendekam di dada kami masing-masing.

Lambat laun alam mulai memasukkan hawa dingin ke dalam raga kami yang telanjang sebanyak mungkin. Angin dan air menggulungkan cekam terpilin sebagai pusaran menerpa pusar kami dan tubuh bagian bawah. Arus melimbungkan tegak tubuh kami. Antara dingin, basah, dan resah. Bercampur dengan dengungan nyamuk hutan dan tonggerek serta jangkrik. Semakin mengaduk-aduk perasaan paling primitif dari rasa takut. Bulu tengkuk mulai berdiri. Setiap ada suara angin yang menderu dirasakan bagai jubah kebesaran penunggu tempuran kali yang sedang berlalu. Dan gesekan ranting-ranting pohon pun terasa sangat mengganggu. Tapi kami mesti tahan. Tak boleh ada gentar kami rasakan. Semua demi sebuah hal gaib. Sebuah keris yang konon pernah raib.

Lamat-lamat kudengar suara orang merintih. Suara Lihin. Tampaknya ada yang ganjil sedang terjadi padanya. Aku tak mau membuka mataku. Takut dianggap gagal. Apapun yang terjadi, aku tak mau lari. Demikian tekad yang aku sembunyikan rapat di balik dada. Lalu kecipak air terdengar. Bunyi langkah di dalam aliran air. Berderap-derap. Makin lama makin kencang. Mungkin Lihin sudah tidak dapat tahan. Dan rintihan itu semakin jauh. Aku pun mengembangkan senyum. Satu orang sudah digulung.

Setelah itu senyap. Pikirku, tinggal aku dan Songko yang bertahan. Tapi aku sangat yakin bisa menang. Sebab tak ada hal-hal yang tampaknya akan bisa menakut-nakuti aku. Meskipun memang kurasakan banyak hal-hal yang aneh kurasakan. Ada suara orang tertawa. Ada suara kuda. Ada juga sentuhan benda-benda yang licin yang sangat mirip dengan kulit ular berkali-kali menyinggahi bagian-bagian tubuhku. Tapi tak ada pikiran bahwa itu adalah ular yang siap untuk mematuk diriku sewaktu-waktu.

Hampir tiga jam lamanya aku berendam. Kurasakan kulit-kulitku sudah mulai sangat kaku. Tebal seperti kulit badak. Hampir-hampir tak kurasa angin yang bersemilir. Apalagi gerusan arus. Mati rasa.

Lalu terdengar suara berdebum. Keras sekali. Air memancar kemana-mana. Ke muka dan dada. Ada yang jatuh? Segera saja kubuka mata. Astaga!

Kulihat Lihin berdiri di atas sebuah batu. Memegang sebatang kayu. Ada darah menetes di batang kayu itu. Di mana Songko?

Lihin tersenyum menyeringai. Dia menatap tajam ke arahku. Di mana Songko?
Apa yang terjadi? Teriakku tercekat.

"Lon, sebaiknya kamu pulang. Sudah tak ada harapan. Aku yang akan mendapatkan Keris Ki Slamet", katanya dingin. Sedingin tatapannya.
Aku cuma bisa termanggu. Tak mampu menggerakkan bibir yang kaku.
Kulihat dia mengulur tangan. Aku hampir tak bisa menyambut. Tanganku kaku. Aku masih bingung. Di mana Songko?

Lihin membantu aku naik. Hampir pagi saat itu. Dia juga mengulurkan handuk kepadaku.
"Berkemaslah", katanya singkat selalu.
"Terimakasih. Tapi..."
"Sudah lah, kau sudah kalah. Aku sudah tahu dimana akan ku ambil keris pusaka itu. Kau tidak mendapatkan wangsitnya kan?"
"Wangsit?"

Lihin terkekeh. Menepuk pundakku dan berlalu.

"Di mana Songko?", tanyaku. Akhirnya.
"Dia sudah mati. Menemui takdirnya. Dia itu ular, sang pencuri dengar.�
"Kau membunuhnya?"
"Terpaksa"
"Apa yang terjadi?". Aku tahu dia sedang berdusta.

Lihin kemudian bercerita:
Tak beberapa lama setelah kami memulai tapa kungkum, Lihin mendengar seorang wanita berbisik padanya.
"Birahi lah. Aku telah lama menunggu pengantinku. Kepadanya lah Ki Slamet akan berbakti."
Lalu dia pun muncul. Wanita yang sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya hitam panjang. Menggunakan kain batik warna keemasan. Dan setiba di bibir sungai, dia membuka badan. Menghampiri Lihin dan menciumnya. Lihin tak tahan. Diajaknya dia menepi.
"
Tapi si culas Songko tak tinggal diam. Dipanggilnya beberapa pengawal. Orang-orang bersenjata tombak yang mengendarai kuda. Juga seekor ular besar yang dimintanya mengurung dirimu. Kamu tak sadar?"

Ah, tidak. Aku tak tahu semua itu. Apakah itu hanya ilusi? Lalu di mana Ki Slamet ? Dan si wanita, benarkah ada?

Lihin melanjutkan ceritanya :
Ketika dia sedang mencumbu wanita yang tak lain adalah pemilik sejati Ki Slamet, Songko dan para pengawalnya mengepung dia. Direbutnya si wanita dari pelukannya. Lihin disuguhi lusinan ujung tombak yang mengarah di bagian dadanya.
"Kau tak mendengar dia tertawa sedemikian kerasnya? Angkuhnya sungguh luar biasa."
Ah, tidak. Aku tak tahu semua itu. Apakah itu hanya ilusi? Lalu bagaimana Lihin bisa lolos? Dan si wanita, benarkah ada?

Lihin kembali bercerita padaku :
Songko membawa kabur wanita itu. Sambil berkata kepadaku bahwa lebih baik dia punya si empunya Ki Slamet, pasti lebih sakti.
"Jadi Songko menyimpan pemilik Ki Slamet. Dan kamu menyimpan Ki Slametnya?", tanyaku.
"Belum". Lagi-lagi jawaban singkat.
"Lalu?"
"Kulihat ada sesuatu yang melesat dari balik kemben sang wanita. Aku segera sadar bahwa itu Ki Slamet. Para pengawal Songko ingin merebutnya. Tapi mereka takut pada ular besar yang melilit tubuhmu."

Ah, tidak. Aku tak percaya semua itu. Apakah itu hanya ilusi untuknya? Lalu mana para pengawal dan ular itu? Dan Ki Slamet, benarkah ada?

"Para pengawal sudah pergi. Ular besar tadi kubunuh dengan batang kayu ini. Dan Ki Slamet, ada dalam tubuhmu", Lihin menjelaskan dengan cukup rinci namun tetap singkat.
"Lalu?"

Jakarta. 06. September.06