Monday, November 13, 2006

Pulangkan Saja

Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..."

Dulu dia sering sekali mendengar nyanyian itu, dan dia sering menertawakannya. Betapa tidak, hidupnya saat ini jauh sekali dari gambaran kata sengsara. Meskipun sebelumnya dia bukan orang yang bisa dibilang miskin, tetapi juga tidak bisa dibilang kaya raya. Dia tidak bisa juga dibilang mempunyai gaya hidup yang sederhana. Seorang aktris film berbakat yang pernah membintangi beberapa film box office di tanah air ini sudah mulai merambah ke bisnis lain seperti usaha waralaba dan cafe.

Sering ikut seminar usaha dan bisnis menjadikannya cukup akrab dengan beberapa pengusaha. Beberapa pengusaha muda juga sering mengajaknya makan malam bersama. Belum lagi undangan pertemuan - pertemuan bisnis di lobby hotel ternama, sering menyita waktunya. Dia masih tertawa ketika mendengarkan lagu itu disenandungkan oleh pembantu rumah tangganya. Sungguh cerita cinta yang berakhir konyol, gumamnya.

Dia mungkin belum mengerti. Cinta bisa saja merubah dirinya menjadi seekor naga yang tiba-tiba menyemburkan api amarah yang dahsyat hingga sampai meruntuhkan tembok benteng perkawinan. Menjadi Hydra di lautan Aegean yang menghempas bahtera kehidupan pernikahan sepasang manusia, sangat mudah dilakukan oleh cinta yang terluka.

Atau sebenarnya dia mungkin tidak ambil peduli, karena sebenarnya dia sedang jatuh cinta? Pertemuannya dengan Robert membuat dia tidak bisa lagi berpikir tentang dia seorang. Sekarang dia lebih sering menelpon dan membuat pesan pendek untuk menanyakan kabarnya yang padahal baru sejam yang lalu ditemuinya. Robert, pria tampan dan kaya raya telah menaklukkan hatinya. Tadinya dia berpikiran bahwa Robert hanyalah seorang pengusaha yang iseng-iseng ingin menyalurkan hasrat hewaniahnya saja padanya. Karena Robert adalah pengusaha terpandang dan sudah mempunyai keluarga yang tidak pernah diterpa oleh gosip - gosip miring. Beberapa wartawan teman - temannya tidak pernah meributkan kehidupan rumah tangga mereka.

Shayne tertawa riang. Semenjak berkenalan, tidak seperti teman - teman lelakinya yang lain, tidak pernah terucapkan sepatah kata pun dari Robert untuk mengajaknya berhubungan intim. Shayne menganggap bahwa Robert benar - benar menganggap hubungan mereka benar - benar serius. Bukan sekedar nafsu belaka. Senyumnya makin melebar, ketika diingatnya Robert beberapa kali mengantar Shayne pulang ke kota B, ke rumah orang tuanya. Di dalam kesempatan itu, Robert kepada ibunya Shayne meminta ijin untuk menjadikan Shayne sebagai istrinya.

Pada suatu kesempatan, Shayne bertemu temannya seorang penulis naskah. Dia menceritakan kehidupannya yang penuh dengan bunga-bunga warna jingga yang bermekaran di taman. Entah kenapa Anton, sang penulis naskah malah berkata kepadanya, "Aku malah sering bertanya pada diriku sendiri, kenapa saya akhir-akhir ini sering menuliskan tentang cinta yang terlarang, ya?"

"Kamu menyindirku, Ton?"

"Aku tidak pernah menyindir siapapun, tulisan - tulisanku aku buat sebelum kamu menceritakan tentang Robert bukan?"

"Tapi aku merasa kamu menyinggungku pada dasar hatiku, Ton..."

"Ah, sudahlah. Tidak perlu kau anggap seperti itu. Aku menuliskan fenomena yang banyak terjadi di sekitar kita saja."

"Robert begitu menyenangkan, Ton. Perhatiannya padaku membuat aku percaya bahwa dialah laki-laki yang namanya disebutkan dalam mimpi - mimpiku."

"Percayalah padanya begitu, tapi aku harap kamu mau mempertimbangkan mereka yang terluka."

"Ton, justru aku di pihak yang akan banyak mengalah, bukan mereka. Saat ini aku banyak membaca tentang praktek poligami. Aku ingin siap untuk menjadi salah satu dari mereka."

"Apakah artinya kamu sudah siap untuk menderita?"

"Ah, Ton...Aku ke sini untuk membagi cerita bahagia, bukan untuk berargumentasi. Kalau kamu mendebatku, aku merasa bahwa kamu sama saja dengan mereka!"

"Mereka yang mana Ane?"

"Mereka yang memandang dengan picik terhadap praktek poligami, siapa lagi?"

"Sudah banyak buku yang kamu baca?"

"Ah sudahlah ...tampaknya aku salah waktu bicara sama kamu! Lebih baik aku pergi saja! Goodbye Anton."

Anton hanya tertawa kecil menyaksikan Shayne berlalu dari ruangannya. Tidak dicegah, dibiarkan saja. Sebab semuanya akan mempunyai arti yang berbeda seiring waktunya.

Dan kemudian beberapa waktu tanpa kabar dari Shayne sejak kepergiannya, Anton menerima undangan. Tidak seperti undangan pada umumnya, tercantum di situ "Privately Invited". Sebuah hotel ternama tertulis di situ, lalu ada nomer kamarnya. Di depannya ada inisial SR ; Shayne dan Robert. Anton hanya menghela nafas. Dia cuma tersenyum sambil melemparkan undangan itu pada tumpukan naskahnya.

Shayne bahagia sekali, meskipun dalam hatinya sedikit agak sedih juga. Di hari paling dimana seorang dara seharusnya bisa berteriak lantang kepada semua orang yang dikenalnya, dia hanya bisa tersenyum simpul. Di dalam kepalanya penuh curiga, apakah orang-orang yang datang saat ini mengerti akan keputusannya? Menjadi istri yang kedua. Setelah ditatapnya mata-mata tulus yang berbinar seakan-akan menyatakan "aku turut berbahagia" dari mereka, barulah pikirannya agak tenang.

"Selamat ya Ane, aku turut mendoakan kebahagiaanmu selalu!", kata Anton sambil mencium pipi Shayne.

"Thanks ya kamu mau datang.", jawab Shayne singkat.

Lalu semuanya kemudian seakan-akan menghilang. Beberapa bulan setelah pernikahannya, Shayne hanya merasakan di dunia ini hanya ada dia dan Robert. Robert selalu ada di setiap dia membutuhkannya. Shayne tidak pernah menanyakan masalah istri dan anak Robert, karena dia yakin Robert sudah menceritakan semuanya kepada mereka. Shayne pernah tegang ketika mendapat pesan pendek dari nomer yang tidak dikenalnya. Tangannya gemetar ketika membaca pesan itu. Isinya singkat "Jaga baik-baik Robert. Aundra". Aundra adalah nama istri pertama Robert. Setelah satu pesan singkat itu, tidak pernah lagi Shayne menerima pesan - pesan lain darinya. Shayne menganggap bahwa Aundra sudah mau menerima dia.

Malam itu, Robert berbicara mengenai masa depan bayi yang sedang tidur dalam perut Shayne. Kata dokter jenis kelamin bayi itu laki-laki. Robert berkata bahwa dia sedang merintis sebuah perusahaan yang nantinya akan dia serahkan kepada anak itu kelak. Shayne cuma tersenyum, sambil mengelus pipi Robert manja.

"Biarlah nanti anak kita yang menentukan masa depannya sendiri, sayang..."

"Setidaknya biarkanlah aku bertanggung jawab sepenuhnya untuk hari esoknya, sebagai bapak."

"Terserah kamu saja lah, Mas." Shayne menggelendot manja pada Robert, dan memelukkan lengan Robert pada perutnya.

Malam itu, langit-langit kamar tidur mereka seakan tembus pandang. Shayne tersenyum kepada bulan yang sedang purnama.

Dalam tidurnya, Shayne mendengar suara - suara gaduh. Sepertinya Robert sedang berbicara dengan seseorang. Tiba-tiba suara itu semakin mengeras. Bukan cuma suara manusia, tapi terdengar pula suara benda - benda berjatuhan. Shayne meringkuk dalam selimutnya. Ditutupnya kupingnya rapat - rapat ketika didengar namanya disebut-sebut. Suara pintu kamar digedor - gedor dari luar. Shayne semakin takut, dipeganginya perutnya yang gendut. Kemudian dia mulai bersenandung untuk mengusir rasa takutnya.

"Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..."

Jakarta/23/05/06

Friday, November 03, 2006

K.D.R.T. ("Kerasan" di Ruang Tunggu)

"Kosong?"
Kata itu kuucapkan ketika aku bersama ibu dan bapak memasuki sebuah ruang tunggu praktek seorang psikiater terkemuka di ibukota. Ruangan itu "cozy" dengan sofa warna hijau-biru bergaya modern minimalis. Gaya tata ruang ala warga menengah yang tengah menyerap imajinasi saat mereka membangun tempat tinggal. Ruang itu memang kosong seperti isi kepalaku yang tidak mengerti mengapa aku, ibu, dan bapak pergi ke tempat seperti ini. Apakah lantaran hidup kami dikelilingi oleh peristiwa-peristiwa yang membuat pikiran kami terganggu? Atau sekedar menyiasati supaya kami semua bisa santai menghadapi hal itu semua? Aku hanya lah seorang anak lelaki yang merasa bising jika ibu dan bapak ada bersama-sama dalam satu ruang yang kami sebut rumah.

"Songko"
Bapak menyebut namaku. Dia dan ibu kemudian berbincang dengan seorang perempuan muda berseragam putih-putih. Mata bapak menatapku seakan aku adalah orang yang asing. Bahkan teramat asing. Memang bapak jarang sekali berada di antara aku dan ibu. Dia seorang pekerja keras. Aku pikir dia lebih suka dan mencintai pekerjaannya daripada keluarganya. Di rumah pun yang dibicarakan selalu saja pekerjaannya. Tak pernah ditanyakan soal pelajaranku, tak juga ditanyakan olehnya perasaan rindu ibu kepadanya. Sebagai anak lelaki aku tak mau mencontoh bapak. Aku tidak mau hidup ditekan oleh pekerjaan. Mungkin itu lah alasan bapak membenci aku. Bapak selalu mengingatkan kewajibanku jika aku besar nanti sebagai seorang lelaki. Tapi bapak lupa, lelaki juga harus belajar mencintai wanita. Ibu sering bercerita bahwa dia sering lupa bagaimana rasanya bapak mencintainya. Ibu memang tidak secantik perempuan muda yang berseragam putih-putih itu. Tubuhnya tidak langsing, dan kulitnya tidak lah putih. Namun banyak tetangga yang sering memuji bahwa ibu adalah tipe wanita yang pandai dalam hal memadu-padankan busana. Rasanya tanpa perlu gaun mahal pun ibu sudah kelihatan menarik.

"Songko, sini..."
Kali ini ibu yang memanggil namaku. Kata kerabatku, wajahku lebih banyak mirip dengan wajah ibu.
Tapi aku tak mau, sebab wajah ibu sering berubah warna. Kadang matanya hitam, kadang pipinya biru. Tak jarang pula bibirnya bengkak-bengkak. Ibu bilang bapak melakukan itu karena rasa sayang yang teramat dalam. Mungkin oleh sebab itu pula aku pun sering merasakan pukulan bapak di sekujur tubuhku. Tak terhitung beberapa kali warna kulit pahaku sama dengan warna pipi ibu. Telingaku hampir setiap minggu berwarna merah darah. Bapak suka sekali dengan warna merah. Aku rasa tak cukup warna merah yang terbias di mukanya karena minuman yang disesapnya. Padahal dia masih punya warna merah dari bara api yang menyala di ujung rokok. Aku pikir ibu seharusnya senang punya seorang suami yang berjiwa pelukis itu hingga tak perlu beli lukisan dengan coretan-coretan cat minyak tebal yang tak berbentuk seperti yang ada di dalam ruangan ini.

Mereka masih berbincang. Ada beberapa formulir yang tampaknya harus mereka isi dengan hati-hati. Aku tak suka melihatnya. Kertas dengan beberapa kata yang disambung dengan tanda titik dua dan selebihnya kosong. Aku lebih tertarik dengan majalah yang tersusun rapi di bawah meja dengan daun meja terbuat dari kaca. Majalah itu lebih meriah. Ada gambar wanita cantik dengan pose menantang dan baju yang indah. Seperti yang sering diceritakan ibu ketika mengajak aku jalan-jalan ke tempat perniagaan. Padahal ibu tidak pernah sekalipun membeli dan menggunakan gaun-gaun indah yang sangat diinginkannya. Katanya tidak bagus untuk tubuhnya. Padahal ibu memiliki postur yang bagus, tapi dia lebih sering menutupi rambut indahnya dengan pasmina atau kerudung hingga hampir saja tetangga tak mengenalinya. Yang aku tahu, ibu berusaha sembunyikan luka atau bekas memar di wajahnya, di punggung, atau di tangannya.

Wajah di sampul majalah itu wajah seorang gadis yang tersenyum lembut. Jauh dengan senyum ibu yang seakan dipaksakan. Apalagi dengan senyum bapak yang sok berwibawa. Ah, aku jadi ingin punya senyum khas ku sendiri. Tidak seperti bapak ataupun seperti ibu. Saat ini mereka sedang mengobral senyum kepada perempuan muda itu. Aku tahu pasti, itu senyum paling pura-pura. Menutupi semua kejadian yang sudah mengendap bertahun-tahun lamanya. Aku tak mau punya senyum pura-pura seperti itu. Ih, kenapa aku tersenyum sendiri? Kulihat bayangan senyum itu muncul di daun meja dari kaca di depanku. Aku pun merasa malu.

Entah mungkin karena aku tersenyum, perempuan muda berseragam putih-putih itu pun tersenyum ke arahku. Tak lama setelah itu, dia mengangguk pada bapak dan ibu yang juga rupanya tengah memperhatikan aku. Seperti model yang sedang menjalani sesi pemotretan untuk sampul sebuah majalah, aku mulai bergaya. Tatapan memperhatikan dengan tulus adalah suatu barang langka yang sudah lama aku dambakan. Mungkin karena kali ini aku merasa diperhatikan maka aku bertingkah lucu.

Aku seharusnya menjadi pusat perhatian di dalam rumahku sendiri apalagi sebagai anak lelaki pertama dan masih belum punya adik. Benarkah aku rindu untuk menjadi pusat perhatian? Di kelas, teman-temanku sering mencemooh aku. Sejak aku sering tidak masuk sekolah karena sakit yang tak tertahankan akibat disayang bapak, aku dijuluki anak sakit-sakitan. Banyak pelajaran yang tak bisa kukerjakan, aku terlalu susah untuk berpikir selain membayangkan kehidupan yang lebih menyenangkan. Aku adalah tontonan sekaligus bahan ejekan karena di tubuhku selalu ada luka dan aku dianggap murid yang bodoh.

Tapi apakah benar aku yang bodoh? Sebab yang kuinginkan adalah hal yang sangat sederhana untuk anak seusiaku. Bapak yang punya rasa sayang dan ibu yang selalu menjaga dan merawatku. Sederhana bukan? Ah, mungkin itu lah sebabnya bapak dan ibu pergi ke tempat praktek psikiater sekarang ini. Untuk memperbaiki diri. Jika tebakanku benar mulai besok aku benar-benar akan hidup dengan normal.

Bapak dan ibu pergi ke sebuah ruangan. Mungkin itu tempat konsultasinya. Syukurlah jika akhirnya Tuhan membukakan pikiran dan kesadaran bapak. Aku mulai membayangkan kehidupan yang indah setelah bapak berubah. Tanpa sadar kuulas sebuah senyum yang paling manis. Senyum yang tak akan pernah terjadi jika aku sadar bahwa yang kupikirkan itu masih belum menjadi kenyataan.

"Betul tidak kata saya, pak dokter? Anak itu memang harus disembuhkan!". Suara bapak mengagetkan lamunanku.
"Iya, dia suka senyum-senyum sendiri. Saya jadi ngeri", ibu menambahkan.
"Baiklah, saya mengerti keluhan ibu dan bapak. Tapi ada baiknya akan saya lakukan beberapa tes kepadanya", pria tua itu berkata. Lembut, tapi seperti terpaksa.

Aku menatap ketiga orang yang tengah mengerubutiku. Seorang anak lelaki berhadapan dengan tiga orang dewasa. Semuanya mempunyai pikirannya sendiri. Siapa yang harus mengerti? Apa yang harus kupahami?

Bapak, ibu, dan dokter itu berusaha menarik tanganku. Aku meronta. Tak mau aku dipaksa masuk pada suatu ruang yang tak ingin kumasuki. Aku sudah merasa cukup betah di ruang tunggu itu. Bahkan sangat betah.

Jakarta, November 2006.

Thursday, November 02, 2006

Mata Merah, Mati Marah

"Dia belum tidur-tidur juga?", Ibu bertanya padaku perihal bapak yang masih terjaga.
"Sepertinya dia memang tidak pernah tidur". Sudah lama aku selalu mendengar suaranya. Siang sampai siang lagi. Tak pernah berhenti.
"Kenapa ya dia berlaku seperti itu?"
"Ibu tidak tahu? Seluruh peristiwa yang terjadi, sepertinya menjadi urusannya"
"Yang pasti, dia telah lupa sesuatu!"
"Apa itu?"
"Tidur!"

Aku dan Ibu berdebat soal bapak yang mondar-mandir di depan televisi. Kegelisahan
senantiasa terpancar dari gerakan yang dibuatnya. Entah itu dari caranya melipat sarung, atau gerakan jemarinya yang mengepal dan membuka seperti memompa sesuatu. Aku cemas dengan hal itu. Sebab waktu aku hendak donor darah, suster di rumah sakit memintaku untuk mengepal dan membuka telapak tangan, katanya biar darahnya mengalir lancar. Aku cemas darah bapak akan terus menerus mengaliri sekujur tubuhnya bahkan meledakkan jantungnya sendiri.

"Mata bapak merah lho". Aku beranikan diri untuk menegurnya.
"Namanya juga kurang tidur, Yon. Aku juga merasakan mataku perih".
"Kenapa bapak tidak tidur saja?"
"Tidur? Aku tidak akan tidur lagi, Yon".
"Tiap orang perlu istirahat pak. Jangan paksakan diri!", protesku.
"Aku sudah banyak menghabiskan masa istirahatku. Sekarang saatnya berjaga-jaga!"
"Memang mau ada apa pak?", aku semakin tak mengerti.
"Kamu tidak akan tahu kalau tidak mengalami sendiri".
"Apa itu? Mimpi?"
"Bukan. Tetapi suara peringatan".
"Bapak tidak tahu siapa yang memperingatkan bapak?"

Bapak hanya menggeleng perlahan. Matanya tampak membara ada rasa sakit dan marah terpancar . Aku lihat urat-uratnya begitu nyata. Bapak seperti mayat berjalan.

Ibu membuat susu hangat. Katanya itu obat mujarab untuk orang insomnia. Segelas besar, biar bapak cepat "tepar". Dengan senyum manis, seperti biasanya, ibu mendekati bapak. Dipeluk dan dicium tangannya. Sebenarnya ibu dari beberapa hari lalu sudah mencoba meluluhkan penjagaan bapak yang terlalu. Dia tidak ingin suaminya menjadi orang yang aneh bagi kehidupan rumah tangga ini. Tapi sampai sekarang dia belum pernah bisa menjadikan bapak sebagai seorang yang wajar menurut pemikirannya.

"Minum dulu pak susunya. Mumpung masih hangat".
"Aku tidak sedang haus bu, nanti saja".
"Apa perlu aku buatkan kopi?"
"Tidak usah bu, aku cuma tidak bisa tidur saja. Tidak ada masalah besar".
"Itu masalah besar, pak", ibu mulai berterus terang memprotes bapak.
"Bapak tidak ingin aku jadi janda kan?"
"Ibu ini apa-apaan sih? Justru aku ini berjaga dari segala kemungkinan yang ada!", bapak mulai meninggi.
"Memangnya bapak dengar apa sih?"
"Suara peringatan untuk senantiasa berjaga-jaga".
"Bapak tidak tanyakan kembali siapa yang meminta?"
"Aku yakin itu suara suci". Datar bapak bicara.

Kali ini kami semua diam. Tak ada lagi yang mau untuk bicara. Dunia pun seperti menghentikan laju detik-detik jam tua di sudut ruangan. Aku hilang akal. Ibu pun demikian. Bapak tak dapat ditahan. Kemauannya sudah sedemikian keras. Kami hanya bingung bagaimana fisik bapak yang sudah tua itu mampu di “forsir” demikian.

+++

Mata ibu merah. Sudah seharian dia menangis. Kelopak matanya sembab hingga kurasakan hawa di dekatnya pun jadi lembab. Sekarang aku yang kena giliran jaga, sebab fisik ibu tampak lemah. Kematian Bapak, meskipun kami selalu mewaspadainya lantaran dia tidak mau tidur, terjadi dengan cara yang tidak pernah kami perkirakan. Saat itu kami sedang makan malam, dia tiba-tiba berdiri.
"Mau kemana pak?"
"Ada suara ketukan, kalian tidak dengar? Sepertinya ada tamu".
Aku dan ibu berpandangan. Kami tidak mendengar apa-apa.
Belum tegak dia berdiri, matanya terbelalak lebar dan tubuhnya kejang. Kami segera menghambur ke arahnya.
"Kenapa pak?", tanya kami bersamaan. Berulang-ulang.
"Kenapa kalian menipu aku?!", teriaknya.
Aku dan ibu kembali berpandangan. Siapa yang dibilang telah menipu bapak? Kami? Menipu apa?

Sebelum semua itu terjawab, tubuh bapak limbunng. Tangan kami cepat menangkap tubuhnya sebelum dia terjatuh.

Saat itu, Bapak kelihatan dalam keadaan marah sekali. Tetapi kami tak pernah bisa mengerti sampai hari ini apa yang telah membuatnya begitu marah. Tak berapa lama, dia sudah tak bernyawa. Ibu pun meraung sejadinya. Aku mengguguk menahan sengguk. Dalam hati berkecamuk. Pertanyaan kami tak pernah lagi bisa dijawab. Aku pun menaruh dendam. Entah pada siapa. Yang jelas bukan pada Tuhan yang di tanganNya sudah digenggam nyawa bapak untuk dibawa pulang. Ah, aku tak mau berpikiran sejauh itu, malam ini biar aku tenangkan ibu sebelum melapor ke ketua RT dan mengabari tetangga.

Mata ibu masih merah, bahkan setelah wajahnya memucat putih, mata itu semakin kelihatan merah. Seperti api yang sedang membakar langit malam. Menyala-nyala. Aku sampai harus menundukkan pandangan jika dekat dengannya.

"Bu, sudah malam. Tidurlah…", pintaku.
Ibu hanya menggeleng pelan.
"Kasihan bapak, dia tidur sendiri di kuburnya yang sunyi"
Aku bergidik mendengarnya. Kumohon pada Tuhan agar ibu bisa bertahan.
"Bapak sudah pulang ke rumah yang tenang. Ibu harus ikhlaskan dia", kucoba untuk menenangkan pikirannya. Meskipun aku tahu ibu takkan pernah bisa tenang. Ada hal yang ingin dia sampaikan kepada bapak dengan caranya sendiri. Sebagai anak, aku tak harus mengetahuinya.

Akhirnya sebelum malam tergelincir di kaki fajar, dia sudah tertidur. Meskipun tak begitu pulas. Matanya masih bergerak-gerak meski sudah tertangkup pelupuk. Aku pergi ke kamarku sendiri. Sekedar merebahkan penat yang sudah sangat berat menggelayut di punggungku. Sejak tadi malam aku bekerja keras mengurus pemakaman bapak.

+++

Kamar ini masih kukenal. Bahkan sepertinya tidak pernah lepas dari pandanganku sejak dulu. Warna dindingnya yang hijau muda (bapak dulu yang memilihkan catnya; katanya warna hijau muda itu warna seorang remaja yang tumbuh dengan berbagai harapan) sekarang sudah tampak kusam dan berlumut di sana-sini. Ada bau pengap. Sepertinya jendela dengan kisi-kisi dari kayu itu sudah lama tak pernah dibuka. Bau apek dari celana, jaket jins, dan kaus oblong warna hitam yang menggantung menyeruak semenjak pintu kamar ini terkuak.

Ada yang sudah lama pergi? Aku tak ingin diam lama di kamar itu. Rasanya hawa di dalam kamar itu begitu dingin untuk tubuhku yang kurasakan kian rapuh. Pikiranku kembali melayang pada beberapa masa silam.

Pada sebuah rumah mungil. Hasil jerih payah seorang guru – bapakku - yang hanya punya keinginan sederhana. Mempunyai rumah tangga yang bahagia. Menjadi imam di dalam majelis kecil bernama keluarga. Dengan penuh rasa tanggungjawab dipeliharanya kami dari segala dampak buruk pergaulan ibu kota. Namun pada akhirnya, dia sendiri mengalah pada nasib yang tidak menentu. Alih-alih mencari tambahan penghasilan keluarga, dia terlibat pemalsuan dokumen kelulusan seorang pejabat. Maka, sekitar empat tahun lebih dia terpaksa meninggalkan seorang istri yang cantik dan anak yang berangkat remaja. Keduanya menganggap bapak sebagai seorang penipu.

Selama di penjara bapak tak pernah tahu, istri cantiknya pernah dengan sangat terpaksa ikut rapat di suatu villa di daerah Puncak dengan ketua yayasan pendidikan tempatnya bekerja demi sebuah permohonan pembebasan uang pendidikan anak tunggal mereka. Dan bapak juga tak pernah tahu anak remajanya merasa rumah mungil tempat tinggalnya seperti neraka belaka.

Tapi kemudian - entah apa itu namanya - karena kesadaran atau hanya sekedar menghibur bapak sebagai orang yang kalah perang, aku dan ibu menutup rapat semua peristiwa yang telah berlalu di belakangnya. Hingga beberapa hari sebelum kematiannya bapak merasa mendengar suara-suara yang mengingatkan dirinya untuk senantiasa berjaga-jaga.

+++

Sebelum pintu kamar kututup, ada yang berbisik lirih dari dalam kamar itu. Aku terbelalak menatap pada kaca jendela. Ada bayangan di sana. Bayangan dari masa kelam yang ibu dan aku sembunyikan. Mungkin dia lah yang membisikkan rahasia kami kepada bapak.

Jakarta, Oktober - November 2006.