Thursday, September 04, 2008

Gadis Idaman

Dahi yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari biasanya. Sinar lampu sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang telah membuat lebih indah sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak indah. Seorang gadis di deretan bangku depan dengan mata besar dan alis yang lebat sudah lama memikat hatinya. Dia selalu melihat ada kilat basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau gadis itu selalu berdoa dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan lagu-lagu pujian. Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu kepada Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya, sesegera mungkin.


"Shalom," sapanya sembari tersenyum ketika gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah kakinya dari anak tangga ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih cepat, sebab sebentar lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa basah dan dahi yang tampak berkilat dengan sangat jelas.


“Shalom.” Gadis itu kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau jinak-jinak merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan membuat segalanya berbeda.


“Ada apa, Kak?”


Lelaki muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang ketertarikan dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali melihat gadis itu menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama sambil berharap gadis itu pun melakukan hal yang sama.


“Anjas.” Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa lebih tegas karena gadis itu tak menyambut uluran tangannya terlebih mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu ketika tiba-tiba yang dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari menjauh.


Minggu berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan bangku depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin sempurna kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti disadarkan sudah beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat gadis itu dan hal itu membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan. Pandangannya kini menghujam di lantai keramik. Di depan, pendeta yang sedang berkotbah mengumumkan ‘altar call’. Dan ujung matanya menangkap gadis itu beranjak dari bangkunya.


“Shalom, Kak Anjas.”


Dia dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini ada nada riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar jawaban yang terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis idamannya sudah berdiri di depannya dan mengulurkan tangan kepadanya. Menanti disambut.


“Hana.”


Demikianlah sebuah nama meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke arah mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut tangan gadis yang kini telah bernama baginya.


“Shalom, Hana.”


Senyumnya pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke belakang, tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia merasa malu telah terlena.


Tak lama keduanya pun mulai bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja itu, sekolah di mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang membawa awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.


+++


“Aku ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”


Hana menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa sangat kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara mereka berdua adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan lagi Anjas berjanji akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai istrinya.


“Tapi sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”


Mendengar kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir bahwa Hana akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa dianggap sebagai rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap dalam-dalam ke mata Hana yang masih memancarkan rasa cemas.


Lidahnya terasa kelu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Hana. Dia masih berpikir Hana akan membuat satu pengakuan. Mungkin pengakuan yang pernah dia dengar dari kawan-kawannya tentang seorang gadis yang mengaku kalau dirinya tidak perawan lagi ketika hendak menikah. Dia menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, dia tidak punya alasan untuk marah atau tidak. Dan dia pun tidak mengerti apakah dia harus kecewa atau menghadapi hal semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi dia hanya bisa menatap mata Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu memancarkan kilat basah. Mata yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan cinta gadis dan jejaka.


“Apakah …”


Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut. Sejujurnya dia menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu benar adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar basah.


Dilihatnya Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Cahaya matahari membuat wajahnya tampak lebih terang. Dia menghela nafas panjang. Seperti tengah melepas beban yang sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi adalah Hana berdiri dan melangkah ke arah pintu.


“Kak. Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”


Hana mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu, sudah pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang menginginkan gadis idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi. Seperti Shinta, seorang dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh raja raksasa Rahwana dan juga lolos tanpa luka di hari pembakaran api suci oleh suaminya Rama. Padahal dia hanya merasakan kebimbangan untuk bersikap. Apakah dia akan mencontoh kelembutan ucapan Isa saaat bertemu seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau ia akan ikut menangis bersama calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia memang begitu jahat.


Dia membiarkan Hana melangkah keluar rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia tidak ingin merusak kesedihan, karena kesedihan adalah ruangan yang paling dekat dengan ruang Tuhan. Maka dibiarkannya Hana membawa pulang kesedihannya sebagaimana dia mengundang masuk kesedihannya sendiri ke dalam hati.


Pagi hari, ketika dia mencabut charger telepon genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan pendek yang belum terbaca. Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang membuatnya begitu bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk orang-orang yang telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa Hana lebih baik dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana baginya adalah gadis idaman yang paling dia dambakan.


Labels:

Cincin Kawin

Dia masih memandang jejak putih di jari manisnya. Jejak berbentuk garis
melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak
itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari
manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari
televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa
kehilangan.

+++

"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata
istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu
anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya
itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara
mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.

"Janganlah Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya.
Lagipula itu 'kan cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan."
Sebenarnya dia juga tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi
terpasang di tempatnya. Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya
masih muda. Umur tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja,
tapi masih terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.

"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah
datang menagih hutang."

Akhirnya dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda
pasrah. Dia juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi
kondisi ekonomi rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi
pendarahan, suaminya menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total
menjadi ibu rumah tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada
penghasilan suaminya.

"Terserah Bapak sajalah."

Maka pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke
pegadaian. Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu
yang bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya
tiba-tiba tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa
selesai tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah
membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar
bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan
sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat
kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.

Tapi ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan
bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan
oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir
dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia
pun ikut-ikutan menyerahkan form dan cincin kawinnya pada seorang
petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam
dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara
kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.

Sekali lagi dia menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak
lama kemudian orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk
ditaksir jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar
juga, dia pun akhirnya dipanggil.

"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"

Dia sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir
senilai tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya
seharga satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia
tidak punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk
membayar tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.

"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut
pikiran di dalam kepalanya.

+++

"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."

Di depan istrinya, dia menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke
tangan istrinya. Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa
terima dengan upayanya.

"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.

"Tidak ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang
sedang dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin
kawin itu.

"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan anakmu." Dia
berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat yang tampak
pasrah.

Istrinya tetap tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyimpan uang
itu di lemari, dan segera menyusul anaknya yang tertidur di kamar.

Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah
belakang. Mandi.

+++

Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis.
Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan
pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau
sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.

"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.

"Tidak mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang
terhidu olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu
baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh jari
manisnya. Kosong. Tidak ada cincin kawin di situ.

"Boleh kenalan?" Ujarnya tiba-tiba.


Jakarta, 04 September 2008.

Labels: