Tuesday, November 18, 2014

Buku Kegetiran

Dia menyesal telah menikahi Dini, itu aku tahu. Meski tidak secara langsung dia mengatakannya, tetapi dari cerita bahwa dia berkonsultasi dengan seorang kiai di Kabupaten P yang jaraknya ratusan kilometer dari kota ini, di mana - di dalam ceritanya itu - untuk mempelajari sikap yang sebaiknya dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya yang masih melakukan hal-hal yang menurut agama yang dianut sebagai hal tidak berguna dan hanya tambahan-tambahan saja, bahkan termasuk sebagai hal yang dianggap akan menyebabkan si pelaku itu menjadi tidak percaya pada Tuhan, jelas menunjukkan bahwa dia punya rasa penyesalan telah menikahi Dini.

"Apa yang dikatakan Kiai itu?" selidikku.

"Menurut beliau, aku diibaratkan seekor anjing laut di Antartika yang tengah stres karena selalu jadi mangsa hiu, atau malah sedang mabuk kekuasaan sebagai binatang yang berukuran lebih besar lalu dengan semena-mena menggunakan penguin, yang pastinya berukuran kecil, untuk melampiaskan hasrat seksualnya."

"Aku tidak mengerti maksud ungkapan itu. Maksudku, apa hubungannya antara anjing laut dan penguin itu dengan keinginanmu untuk mengubah kehidupan rohani Dini, istrimu itu."

"Itu juga yang aku tanyakan padanya. Persis seperti omonganmu itu. Lalu katanya, pemaksaan keinginan karena merasa sebagai suami yang punya hak untuk dihargai dan dihormati oleh seorang istri, dan bahkan menurut hukum agama juga dijamin kedudukan suami atas istri hingga ada istilah - ke surga ikut, ke neraka turut - membuat aku tak lebih seperti anjing laut terhadap penguin itu. Ngawur dan tidak alamiah."

"Lalu, apa saran dari Kiai itu?"

Dia menarik nafas panjang sebelum berkata bahwa Kiai itu memberikan ilustrasi yang aneh lagi yaitu sikap Manuel Neuer, penjaga gawang dari Jerman itu, tidaklah mempersoalkan perkara di luar lapangan seperti berapa jumlah iklan yang dibintangi oleh Christiano Ronaldo, penyerang Portugal itu. Lebih baik, dia berkonsentrasi pada kehebatannya sendiri dalam menjaga gawang kesebelasan Bayern Munich dan timnas Jerman sehingga kehebatannya diakui dengan lebih daripada harus iri dengan nominasi bola emas yang didapatkan oleh CR7.

“Semua ada tugas dan porsinya masing-masing. Begitu tegas Sang Kiai kepadaku,” katanya sambil berulangkali menggaruk kepala dan menepuk-nepuk jidat.

“Sia-sia berarti kau pergi ke sana?”

“Tidak juga, Runa. Aku justru merasa mendapatkan pencerahan.”

“Lalu, kenapa kau masih terlihat kusut begitu?” sahutku sambil meninju lengannya.

Dia mengaduh – aku rasa bukan karena sakit, tapi lebih karena kaget – mengusap-ngusap lengan kirinya dengan tangan kanan, yang membuat cincin perkawinan yang terbuat dari emas putih itu terkena cahaya lampu, dan satu butir berlian yang menjadi mata dari cincin itu seolah mengerlip. Setelah mengaduh kecil, dia malah tersenyum.

“Kenapa kau tersenyum begitu? Kau sedang merasa bahwa aku sebenarnya yang terbaik untukmu, bukan?”

“Kau sepertinya memang sudah tahu alasannya aku mengajakmu rendezvous di Butikopi sore ini, Runa.”

Aku tertawa. Baru kali ini aku merasa menang dalam hal bermain hati dengan laki-laki. Bayu mengakui bahwa dirinya telah salah meninggalkan aku. Langkah kaki para pelayan tiba-tiba menjelma suara tepuk tangan yang mengelu-elukan diriku. Ruap aroma kopi jadi confetti yang ditebarkan di atas kepalaku. Aku menjadi bintang sore ini. Di tempat ini. Tepatnya di dalam hati Bayu Anggoro, mantan model sampul majalah pria yang sukses jadi pengusaha muda di bidang energi terbarukan alias produsen kincir angin di negeri ini.

“Kau senang?”

Sindirannya yang tiba-tiba menghentikan kegilaan bayangan di kepalaku. Aku melihat sorot matanya teramat sedih.

“Bukan. Aku bingung,” ujarku menutupi perasaanku.

“Bingung kok tertawa.”

Aku katakan bahwa perasaanku berada di antara pikiran jahat: siapa suruh meninggalkan diriku, hingga hidupmu jadi berantakan, juga ada pikiran gembira: kau mengakui aku yang terbaik untukmu, sekaligus ada pikiran sedih: apa yang bisa aku perbuat dengan keadaanmu seperti itu. Ada juga kecemasan: apakah kau akan meninggalkannya dan memilih menikah denganku, dan apa yang harus aku jawab dari keadaan seperti itu?

“Tidak. Runa. Aku tidak akan seperti Apple yang kembali memesan chip dari Samsung. Lebih baik aku akan terus menekan TCD untuk memperbaiki kualitas chip yang mereka produksi dan mungkin karena track record mereka yang buruk, mereka juga harus mengurangi nilai jual chip mereka itu. Aku pantang menjilat ludahku.”

“Wow. Itu suatu hal bagiku.” Aku balik kaget dengan pernyataannya.

“Itu juga suatu hal bagiku.” Dia menunduk, menekuk jemarinya dan mengeratkan kedua tangannya di atas meja. Seperti hendak berdoa.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Ini yang kiai itu bilang padaku: bawalah istrimu jauh dari lingkungannya yang sekarang. Jauhkan dari sumber-sumber pengaruh kebiasaan buruknya. Lalu, di tempat yang baru itu, sebagai suami aku harus rajin memberikan contoh beribadah yang baik menurut apa yang aku yakini. Mudah-mudahan dengan cara-cara seperti itu istrimu akan berubah.”

Aku mendengus. Jika dari tadi dia sudah tahu apa yang dia lakukan, kenapa dia bercerita panjang lebar denganku, bahkan memintaku secara khusus untuk mengenang kisah cinta di antara kami berdua?

“Aku telah berbuat salah,” katanya kemudian.

Aku menduga ini ada hubungannya dengan kisah cinta kami. Alisku naik menunggu kata-kata berikutnya.

“Sebagai suami, aku lebih banyak mendikte apa yang harus Dini lakukan. Tidak boleh begitu, harus begini. Pokoknya terlalu banyak menuntut. Itu tidak benar, bukan?”

Mendengar dua kata pertama yang baru saja dia ucapkan rasanya sudah membuat aku ingin segera meninggalkan Butikopi. Apakah masih perlu aku berpendapat dengan pertanyaan retorik yang dia ungkapkan? Rasanya tak perlu. Aku membisu. Tanganku mengubah bentuk tisu dari lembaran menjadi bola dengan hanya beberapa gerakan. Harusnya dia tahu bahwa aku sudah bosan dengan pertemuan ini.

Dia malah tersenyum. Entah apa maksud senyumannya kali ini. Aku melihatnya sekilas dan melemparkan pandanganku ke bagian kafe yang temaram. Jujur saja, aku ingin menangis. Barangkali jika ada yang melihat ke dua mataku ini seperti busa yang terlalu banyak menyerap air. Tidak. Aku tidak boleh menangis.

Setelah berdehem sebentar, aku tanyakan padanya lagi: apakah sudah punya pandangan akan tinggal di mana?

Dia tidak menjawab, diperlihatkan padaku dari telepon genggamnya daftar 10 kota yang ternyaman untuk dihuni. Aku memerhatikan daftar kota itu dengan sekelumit alasan pada tiap kota. Dalam daftar itu disebut Garut, Bandung, Yogya, Surabaya, dan beberapa kota lainnya yang dipuncaki oleh Purwokerto.

“Purwokerto?”

Dia malah tertawa.

“Tidak, Runa. Aku tak akan memilih Purwokerto. Karena di sana banyak saudara Dini. Mungkin aku akan memilih Garut.”

Kok?

“Paling dekat dengan Bandung dan Jakarta. Di sana ada beberapa tempat pariwisata juga. Rasanya cukup nyaman untuk membesarkan Kalia.”

Tiba-tiba saja dia menyebut nama anaknya. Aku rasa itu adalah alasan paling utama baginya untuk tetap mempertahankan hubungan pernikahan mereka. Ya. Itu yang paling mungkin.

“Kau sendiri bagaimana? Masih tetap ingin tinggal di sini?”

Ya. Tentu saja. Meskipun kota ini masih menyisakan duka akibat kegagalan kisah cinta kami, dan banyak tempat yang membuat aku merasa hidup ini teramat getir dengan menyadari bahwa tempat-tempat itu seolah jadi monumen yang setiap saat menggali kembali lubang luka, tapi di kota inilah aku juga mencari nafkah. Mau bagaimana lagi?

“Ya. Pasti aku masih akan tetap di sini. Anggap saja, aku tengah menjalani hidup seperti sedang menulis sebuah buku tentang kegetiran,” ucapku datar.

“Kau memang perempuan perkasa,” pujinya sambil menggenggam tanganku yang masih berkutat dengan tisu di atas meja.

“Karena itu kau menyesal meninggalkanku?”

Dia tersenyum sambil berkata, ”Justru karena itu aku meninggalkanmu. Kau tak pernah memerlukan aku.”


Jakarta, November 2014

Labels: , ,

1 Comments:

Blogger Unknown said...

This comment has been removed by the author.

7:03 PM  

Post a Comment

<< Home