Tuesday, March 15, 2016

Syarif dari Syam

Kalau melihat penampilannya, kau akan terkecoh mengira pemuda berhidung panjang berkulit kemerahan itu adalah orang gila. Sebab biarpun berjalan, bibirnya bergerak-gerak seolah sedang berbicara dengan sesiapa. Karena penasaran, aku dekati dia. Dan, masya Allah, ternyata rambutnya yang gimbal dan panjang digelungnya menyerupai konde dan diletakkan di atas kepala seperti sebuah surban. Orang di pantai utara ini menyebut surban dengan kata 'udeng-udeng' karena dibuat dengan cara memutar-lilitkan kain ke kepala yang membuat kepala seolah bergoyang-goyang.

Orang-orang mengolok-olok dia dengan sebutan Pangeran Ramagelung karena gaya rambutnya itu, tapi dia tidak marah. Malah dia bilang padaku, "Justru aku menggelandang ingin mencari seorang sakti yang bisa memotong rapi rambutku."

Aku tertawa mendengarnya. Aku pikir dia bercanda. Apa susahnya memotong rambut meskipun bentuknya gilig dan panjang seperti tambang. Tapi sebelum aku mengutarakan pendapatku, dia sudah berkata lagi, "Kau lihat, jika gelung ini kulepas, panjang rambutku sudah lebih dari sepinggang."

Ternyata rambutnya benar-benar panjang. Ujungnya sudah menyentuh tanah. Pantas saja dia menggelungnya begitu rupa. Jika diriapkan, tentu menyusahkan dia berjalan. Sebenarnya, kau berasal dari mana?" Tanyaku penasaran.

Dia lalu menceritakan sebuah perjalanan dengan nama daerah yang aku belum tahu. Dia lahir di Yaman, lalu besar di Syam. Dia mengaku bernama asli Syarif. Dan dia datang ke tanah Jawa tak sengaja. Kapalnya terdampar di Karang Kendal. Di daerah itu, dia ditolong oleh seorang bernama Tarsiman.

"Sebetulnya aku tidak tega tinggal di sana, kasihan! Soalnya Ki Tarsiman sendiri sudah punya banyak anak. Kalau tidak salah ada sekitar dua puluh lima orang, sampai-sampai dia dijuluki Ki Buyut Selawe. Bagaimana jika ketambahan aku yang seperti raksasa ini? Makanku juga banyak."

"Lalu, kau menggelandang?"

"Tidak juga. Aku melakukan apa yang disebut orang sebagai dakwah bil hal. Berdakwah  dengan perbuatan. Bekerja apa saja untuk menolong orang yang membutuhkan."

"Apa itu berdakwah? Aku tak tahu," tukasku.

"Berdakwah itu mengajarkan ilmu agama. Tapi dalam hal ini, aku mengajar dengan memberikan contoh perbuatan yang baik, yang sesuai dengan petunjuk agama."

"Perbuatan seperti apa itu?"

"Kau akan mengerti jika kau mau menemaniku melakukan pencarian terhadap orang sakti yang bisa memangkas rambutku ini. Bagaimana?"

Dia pun berjalan lagi ke arah sebuah sungai kecil yang tak jauh dari tempat aku mengajaknya bercakap-cakap. Aku pun mengikutinya dengan kepala penuh harap bisa menyaksikan perbuatan-perbuatan luar biasa yang ingin ditunjukkannya.

"Apakah kau bisa menghilang?" Tanyaku.

"Tidak."

Apakah kau bisa berubah wujud?"

"Tidak."

"Apakah kau bisa begini?" Kataku sambil berlari mendahuluinya menggunakan ajian saipi angin sehingga dia tertinggal jauh. Dan aku dengar dia merutuk.

Aku berhenti tepat di sebuah perahu kecil yang ditambatkan di pinggir sungai kecil itu. Di dalamnya, tergeletak jaring ikan. Nampaknya pemiliknya tengah bersiap untuk menjala. Ketika aku tengah mengangkat jaring itu, dia sudah sampai di dekatku dengan napas terengah.

"Allahu Akbar. Subhanallah. Apa yang tadi kau lakukan? Kenapa bisa begitu?"

Aku tersenyum melihatnya kebingungan. Dan aku yakin dia makin kebingungan melihat ikan-ikan besar beterbangan dari sungai kecil itu memasuki jaring yang kubentangkan di depan dadaku.

"Apa lagi yang kau perbuat? Bagaimana bisa seperti itu?"

Aku terkekeh melihatnya dia begitu kebingungan. Sepertinya dia belum pernah melihat suatu karomah, karunia Allah yang terjadi bagi manusia yang dikehendaki Allah untuk menunjukkan kebesaran Dia yang menciptakan langit dan bumi ini.

"Apakah kau seorang waliyullah?" Tanyanya penuh keheranan.

Raut mukanya mulai berseri seperti menemukan sesuatu yang dia cari selama ini.

"Kalau kau benar seorang wali Allah, tolonglah potong rambutku yang panjang dan gimbal ini," pintanya padaku.

"Rambut apa?"

Aku balik bertanya sambil memasukkan ikan-ikan besar di dalam jaring itu ke dalam perahu yang tertambat di pinggir sungai kecil itu.

"Rambutku!" Teriaknya setengah memohon setengah kegirangan.

Lalu kubiarkan dia semakin menjadi-jadi dalam kesenangan melihat rambut-rambutnya berjatuhan seperti rontoknya bunga cempedak. Dan terakhir, lamat-lamat dia berteriak menyebut nama Tuhannya -- "La Ilaha illalah!"

Aku sendiri sudah pergi jauh dari sungai kecil itu.
Aku kembali ke Ampanan Jati.


Jakarta, 2016

Labels: , ,

Tentang Sura Anggajaya


Jika tidak berkaitan dengan Ki Gede Lurah Agung, maka mungkin cerita ini akan dianggap sebuah lelucon bagi orang Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Sebab tak mungkin kau melacakku di Pantai Utara Jawa yang panas dan bising ini. Kau tahu, Ki Gede Lurah Agung telah menolong serombongan orang Tiongkok yang membawa Ong Tien Nio dari Campa ke Cirebon. Dia hendak menemui Syarif Hidayatullah yang pernah mengunjunginya.

Sayangnya, kapal mereka terkena badai dan terdampar di Pulau Balik Layar. Maka, Syarif Hidayatullah meminta Ki Gede Lurah Agung untuk menemaninya menjemput mereka.

"Maaf Tuan Syekh, kiranya apa yang mereka inginkan sampai datang ke Tanah Jawa ini?" Ki Gede Lurah Agung memulai pembicaraan ketika mendengar ajakan Syarif Hidayatullah itu.

"Cerita lama, Ki Gede, cerita lama. Aku sebenarnya sudah enggan berurusan dengan Tiongkok, tetapi kau tahu betapa Majapahit selalu mengutus orang-orangnya memberi laporan bahwa di Nusantara ini keadaannya baik-baik saja sehinga Kaisar Cina tak perlu menempatkan pasukan atau perwalian di sini membuat setiap perjalanan orang-orang Tiongkok ke Nusantara ini harus dihormati dan dianggap bersahabat. Padahal, kita juga tidak tahu apa yang diinginkan mereka sebenarnya."

"Apa kira-kira kedatangan mereka ada hubungan dengan perebutan kekuasaan di tanah Pasundan ini? Mungkin mereka mendengar bahwa Demak Bintoro dan Palembang sudah bersatu dengan Bantan untuk menguasai seluruh tatar Sunda dan mengenyahkan orang-orang kulit putih itu?"

Syarif Hidayatullah terdiam. Dia malah mengenangkan cerita yang lebih rumit dari sekadar peperangan, penyebaran agama, atau kedatangan kolonialis Eropa, yaitu cintanya pada Ong Tien Nio yang pernah dipupus oleh ayahanda putri itu. Dia yakin kedatangan Ong Tien Nio adalah untuk menyatakan penyesalan ayahandanya dan memberikan dirinya dalam ikatan pernikahan untuknya.

Namun ketika dia lihat Ong Tien Nio tampak lebih gemuk dengan perut yang membusung, Syarif Hidayatullah pun jengah. Apalagi putri itu menginginkan pernikahan mereka dipercepat sebelum anak itu lahir.

"Anak? Kau mengandung?" Pekik Syarif Hidayatullah.

Ong Tien Nio menangis. Syarif Hidayatullah tidak lantas percaya. Dia terawang perut gendut Ong Tien Nio. Dan tak lama kemudian, dia berkata, "Biarlah yang berasal dari bokor kuningan dan bantal tetap menjadi bokor kuningan dan bantal."

Mendengar ucapan Syarif Hidayatullah, Ong Tien Nio terguguk. Memang benar adanya, kehamilannya hanyalah akal-akalan agar pelariannya ke Jawa bisa membuahkan hasil sebuah pernikahan dengan calon penguasa Cirebon itu.

Syarif Hidayatullah melambaikan tangan ke arah Ki Gede Lurah Agung, dan berkata, "Kemarilah Ki Gede. Bawalah mereka ke tempatmu. Dan jika anak putri Tiongkok ini lahir, biarlah dia menjadi anakmu juga. Sebab aku tak mungkin memisahkan Nyi Mas Pakungwati istriku dari amanat Pangeran Cakrabuana yang memintaku merawat Ibunda Nyi Indang Geulis dan putrinya."

Ki Gede Lurah Agung menghormat pada Syekh Syarif Hidayatullah lalu meminta putri Ong Tien Nio dan rombongannya pergi bersamanya ke Saung Galah. Sementara Syekh Syarif Hidayatullah memilih pergi ke Pesantren Amparan Jati.

Sampai suatu masa ketika putri Ong Tien Nio ternyata benar-benar hamil dan melahirkan seorang putera yang sehat, yang oleh Ki Gede Lurah Agung diberi nama Sura Anggajaya. Maka di situlah simpang siur siapa sebenarnya Sura Anggajaya dimulai. Apakah dia memang benar-benar anak Syekh Syarif Hidayatullah atau dia adalah Arya Kemuning, salah satu putera Ki Gede Lurah Agung.

Yang jelas, ketika kabar ini sampai padamu, telah berlangsung peristiwa yang lain. Seseorang yang bernama Syekh Maulana Akbar mendirikan sebuah pesantren di Kajene. Sebuah desa di kawasan Sidapurna. Dialah yang menerima Sura Anggajaya yang terkenal mumpuni dalam olah senjata untuk menuntut ilmu agama Islam, lalu kemudian karena budi pekertinya yang luhur Sura Anggajaya dinikahkan dengan putrinya sendiri, Putri Nimas Kencanawati.

Sejak saat itulah, tidak ada lagi Saung Galah dan Kajene disebut. Sebab begitu menggantikan kedudukan Syekh Maulana Akbar, Sura Anggajaya memilih nama Arya Kemuning atau Pangeran Kuningan. Yang kemudian oleh Syekh Syarif Hidayatullah sebagai penguasa Cirebon didapuk sebagai Adipati pertama di daerah itu pada tanggal 1 September 1498.

Jakarta, 2o16

Labels: , ,

Monday, March 14, 2016

Tak Ada yang Mati di Cimanuk


Beginilah titah Ramanda Gagak Singalodra berkenaan dengan kematian dua puluh lima orang Palembang di tanah perdikan Arya Wiralodra anaknya; Siapa pun dia, Nyi Endang Darma harus bertanggungjawab atas peristiwa itu. Pertarungan yang adil melawan Pangeran Gagak Lumayung harus dilakukan di hadapan Pangeran Guru dari Palembang. Hal ini supaya Pangeran Guru tahu dan menyadari, meskipun Gagak Singalodra tidak berkuasa atas tanah perdikan Arya Wiralodra, tetapi sebagai bapaknya, dia ikut bertanggungjawab. Dan juga supaya Pangeran Fatah dari Demak ikut mendengar, bahwa Banyumas tidak punya hubungan apa-apa dengan kematian 25 orang Palembang itu. Hal ini disampaikan Tanujaya dan Tanujiwa, adik-adiknya, kepada Arya Wiralodra.
Mendengar putusan dari ayahnya, Arya Wiralodra termenung seketika. Bagaimana mungkin Pangeran Gagak Lumayung yang sakti itu bisa dia kalahkan. Kian Santang atau Gagak Lumayung yang terkenal telah menaklukan raja-raja kecil dan besar di hampir seluruh tatar Sunda, sudah pasti dengan mudah menghancurkan perdikan di lembah Sungai Cimanuk ini. Dengan kata lain, ayahnya memberi ijin pada Cirebon untuk menguasai perdikan ini lantaran kematian dua puluh lima orang Palembang yang merupakan teman-teman dari Pangeran Guru itu.
Padahal mereka berduapuluh lima itulah yang sejak pertama datang sudah bersikap ingin menguasai lembah ini. Pangeran Guru merasa perdikan ini perlu diajarkan lagi agama Islam yang benar, sedangkan keduapuluh lima anak buahnya merasa tanah lembah ini perlu dijadikan perkebunan dengan seenaknya menanam aneka bibit tanaman tanpa berdiskusi dengan warga setempat. Dan ketika mereka ditegur, mereka selalu mengatakan bahwa Palembang adalah sahabat Cirebon dan Demak Bintoro, serta kedatangan mereka sudah atas ijin raja-raja itu. Hal itulah yang menyakitkan hati Arya Wiralodra.
"Mereka tidak tahu bagaimana aku dan Ki Tinggil bersusah payah menemukan tempat ini. Mereka tidak tahu bagaimana aku dan Ki Tinggil harus berperang dengan jin dan siluman. Mereka tidak tahu betapa kuatnya Budipaksa dan Bujarawis yang bahu membahu untuk mengalahkan aku dan Ki Tinggil. Juga mereka tidak pernah tahu berbulan-bulan aku bertempur sendirian melawan Werdinata, raja jin Pulomas itu." Desis Arya Wiralodra, marah.
"Tapi Kanda, bukankah engkau tidak bertanggungjawab atas kematian duapuluh lima orang Palembang itu?" Tanujaya bingung dengan kemarahan Arya Wiralodra yang tiba-tiba.
"Ya. Benar kata Tanujaya. Apa hubungannya Kanda dengan Nyi Endang Darma?" Tanujiwa juga ikut bingung.
"Ketahuilah, adik-adikku, kematian mereka berduapuluh lima adalah tanggungjawabku. Pertama, karena mereka mati di tanah ini. Kedua, karena sesungguhnya yang bernama Nyi Endang Darma itu tidak ada. Tidak pernah ada."
Kedua adik Arya Wiralodra bertatapan heran. Tak mengerti maksud pembicaraan Arya Wiralodra. Setelah saling memandang, keduanya bertanya lirih nyaris serempak, "Maksud Kanda..."
Seakan mengerti pikiran adik-adiknya, Arya Wiralodra mengangguk dan bicara, "Benar. Nyi Endang Darma adalah aku sendiri."
"Tapi, bagaimana caranya Kanda menyamar jadi wanita?" Tanujaya bertanya kembali. Sedangkan Tanujiwa segera menatap kakaknya dari ujung kepala sampai kaki sambil berpikir bagaimana caranya tubuh gagah perkasa Arya Wiralodra bisa berubah menjadi tubuh wanita.
"Kalian tahu, ketika aku mencari perdikan ini, aku pun sampai jauh ke selatan. Di kaki Gunung Halimun, aku bertemu dengan Ki Sidum, penjaga seluruh tatar Sunda. Dialah yang mengajari aku bagaimana menipu pandangan lawan. Aku bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Aku bisa jadi kijang kencana, atau perempuan berwajah jelita."
Tanujaya dan Tanujiwa kembali berpandangan. Kali ini dengan wajah yang terlihat penuh kekaguman. Lalu keduanya dengan senyum mengembang berseru hampir berbarengan, "Ajari kami, Kakanda. Ajari kami!"
Arya Wiralodra tiba-tiba tersenyum. Bola matanya berputar seperti tengah melihat satu kesempatan di tengah prahara yang membingungkan dirinya, terutama soal kematian tokoh samaran yang dia mainkan di hadapan Pangeran Guru yang dituntut terjadi oleh ayahnya sendiri.
"Baiklah. Akan aku ajarkan bagaimana kalian bisa berubah wujud. Tetapi, sebelumnya, aku minta pertolongan kalian. Apakah kalian mau menerimanya?"
Kedua adik Arya Wiralodra segera bersimpuh mengiyakan permintaan kakaknya.
Maka, di hari yang ditentukan terjadilah peristiwa ini; Pangeran Guru didampingi oleh Arya Wiralodra melihat Pangeran Gagak Lumayung alias Kian Santang bertempur habis-habisan dengan Nyi Endang Darma. Berkali-kali mereka beradu pukulan dan tendangan. Nyi Endang Darma beberapa kali terjatuh tetapi bangkit lagi menyerang Pangeran Gagak Lumayung. Dan Pangeran Gagak Lumayung hampir saja kalah sebelum sebuah tendangannya menemu perut Nyi Endang Darma dan membuat Nyi Endang Darma berteriak kesakitan, lalu terbanting ke belakang.
Melihat tendangannya masuk telak, Pangeran Gagak Lumayung mencecar Nyi Endang Darma sampai-sampai mereka sudah berada di pinggir Sungai Cimanuk. Dan satu pukulan terakhir dari Pangeran Gagak Lumayung membuat Nyi Endang Darma terjengkang, masuk ke dalam sungai yang airnya sedang deras-derasnya itu. Dan tak lama kemudian, tubuh yang timbul tenggelam itu tak lagi kelihatan. Pangeran Gagak Lumayung berdiri mematung. Kemudian berlari ke arah hilir.
Pangeran Guru menoleh pada Arya Wiralodra penuh rasa puas. Apa yang diinginkan oleh Palembang, Cirebon dan Demak sudah dilakukan Arya Wiralodra. Dia menyalami Arya Wiralodra sambil berkata, "Aku sudah menyaksikan kematian Nyi Endang Darma, dan pasti aku kabarkan ke Cirebon, Demak dan Palembang, bahwa Arya Wiralodra bertanggungjawab penuh atas kematian dua puluh lima orang pengikutku."
Arya Wiralodra menyambut jabat tangan itu dengan cepat. Dia juga tersenyum namun senyum itu cepat terhapus oleh rasa kuatir. Sementara di hilir sungai, Tanujiwa yang menyamar sebagai Gagak Lumayung memanggil kakaknya untuk segera pergi. Tanujaya yang sedang berwujud perempuan cantik dan tengah berusaha naik ke tepian sungai, mendengar Tanujiwa berteriak-teriak, "Nyi Endang Darma, Ayo!"

2016

Labels: , ,

Kesetiaan Werdinata

Berjalan ke utara, Werdinata tetap mengingat menantunya Arya Wiralodra. Meskipun di utara, Nawangwulan yang lebih tinggi kadigdayaannya sudah pasti akan mudah untuk mengalahkan dirinya dalam waktu yang singkat. Tidak akan selama waktu dia dan Arya Wiralodra bertarung sebelas bulan lamanya di sekitaran Cimanuk. Tidak juga selama dia bertapa dan mendapatkan penglihatan akan datangnya tsunami di Dermayu.

Nawangwulan, Ratu Laut Utara itu, pernah didengarnya sebagai seorang bidadari yang turun ke bumi. Karena itu, Werdinata berharap dia akan bersifat welas asih pada keinginannya itu. Keinginan yang menurutnya mustahil, tetapi pantas dicoba jika memang benar Nawangwulan bisa mengabulkannya. Sambil berjalan, Werdinata berzikir, "Subhanallah. Subhanallah. Subhanallah."

Werdinata telah menerima islam sebagai pengganti agama lama, karena itu dia tidak lagi memegang tameng Kopyahwaring sebagai senjata, hanya tasbih yang terbuat dari kayu cendana. Dia tinggalkan tameng yang terbukti ampuh menahan gempuran Cakra Baswara milik Arya Wiralodra bertahun silam itu karena dia percaya, Nawangwulan tidak hendak mencegah keinginannya dan mengajaknya bertarung. Kalaupun hal itu tidak terbukti dan Nawangwulan akan memerangi dirinya, Werdinata sudah pasrah.

Kali ini kepasrahannya melebihi ketika dia mendengar saran dari Kalacungkring untuk menyerah kepada Arya Wiralodra dan menerimanya sebagai sahabat daripada terus menerus mengobarkan peperangan antara Pulomas dan Dermayu. Kali ini dia sangat yakin dengan perkiraannya bahwa Nawangwulan akan mengabulkan permintaannya. Lebih yakin daripada ketika menyerahkan anaknya, Puteri Inten ke tangan Arya Wiralodra sahabatnya itu. Maka, ketika dia selesai bertapa dan mulai berjalan ke utara, Werdinata hanya meminta Allah untuk menjadi penjamin keselamatannya.

Memasuki keraton Laut Utara yang gaib, Werdinata tidak ingin memandang ke kanan dan ke kiri. Pandangannya tunduk seperti seorang anak yang ketahuan berbohong pada orangtuanya. Dia bahkan tidak melihat Nawangwulan masuk balairung dan duduk di atas singgasananya.

"Katakanlah apa keinginanmu, Werdinata, sampai datang seorang diri ke keraton ini. Jauh dari asalmu di Pulomas." Sambut Nawangwulan.

"Duhai. Ratuku, Nawangwulan, yang kepadamu disebutkan seluruh harapan nelayan di pesisir Jawa digantungkan agar beroleh keselamatan dan kesejahteraan selama di berada di lautan, dan yang namanya disebut sebagai perwakilan kebaikan Tuhan melalui cahaya bulan oleh anak-anak perawan, aku datang untuk sebuah permohonan."

"Katakanlah, Werdinata, apakah permohonanmu itu. Siapa tahu aku bisa mengabulkannya."

"Baiklah, Ratuku. Aku telah mendapatkan penglihatan tentang bahaya yang mengancam anak turunku di Dermayu. Sebuah ombak besar datang menerjang pantai, air bah masuk ke kampung-kampung dari hilir Cimanuk. Menewaskan semua yang aku kasihi dan sayangi."

"Hm. Aku juga sudah mendapatkan penglihatan seperti itu. Lalu, apa yang kau inginkan?"

"Kalau Ratuku sudah melihat hal itu, tentulah sudah melihat hal yang lain lagi," jawab Werdinata.

Kali ini Nawangwulan merasa Werdinata menguji kesaktiannya dengan perkataan itu. Seolah-olah, dia sebagai Dahyang Ratu Pantai Utara tidak bisa melihat hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Alih-alih menanyakan apa yang dilihat oleh Werdinata, Nawangwulan berkata, "Ya. Aku melihat ombak itu berputar, masuk ke selat Sunda, dan mengempas demikian keras di Ciamis dan Pangandaran."

Werdinata terkejut. Padahal bukan itu yang dia maksudkan, tapi perkataan itu justru menggembirakan dirinya karena Nawangwulan bermaksud memindahkan tsunami itu ke selatan. Werdinata jadi tahu bahwa Nawangwulan tidak mengetahui apa yang telah dia lihat setelah penglihatan tentang tsunami itu. Dan demi menghormati Nawangwulan, Werdinata berkata,"Sungguh aku merasa benar-benar jauh dari seujung kuku dengan dirimu, Duhai Ratuku. Aku tak bisa melihat hal itu. Yang aku lihat adalah betapa anak cucuku kembali memohon bantuanmu agar orang-orang Swarnadwipa, dari Palembang, bisa selamat datang ke tanah Jawa supaya rencana anak cucuku mengusir orang-orang tinggi besar berkulit putih di kota pelabuhan sebelah barat dapat terwujud."

Nawangwulan tersenyum. Dia mengerti Werdinata tidak ingin dia kehilangan wibawa di hadapan para menteri dan pejabat di istananya. Meski begitu, ada yang masih mengganjal dalam hatinya.

"Werdinata, mengapa kau sangat membela orang-orang Dermayu? Bukankah saat tsunami datang, Pulomas, kerajaanmu, tidak terkena dampaknya?"

"Ratuku, Arya Wiralodra adalah sahabatku, menantuku, dan meskipun dia sudah mangkat bertahun-tahun lalu, anak keturunannya adalah anak keturunanku. Dia menghormatiku dengan tidak mau memandangku hina meski aku menyerahkan anakku agar dia tak menyerang Pulomas, dan agar dia mau menjalin persahabatan denganku. Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang sahabat selain menjaga kehormatan sahabatnya? Tentulah Ratuku setuju, bukan?"

Nawangwulan mengangguk. Kini dalam pikirannya mulai berkecamuk bagaimana menghadapi kemarahan Nyi Rara Kidul penguasa Laut Selatan jika dia mengalihkan tsunami itu ke Ciamis dan Pangandaran. Namun, demi menghormati sikap Werdinata, dia tak memperlihatkan kegundahannya. Meski demikian, Werdinata sempat melihat telapak tangan Nawangwulan bergetar saat mempersilakan dirinya masuk ke ruang makan.

2016

Labels: , ,